Total Tayangan Halaman

Minggu, Juni 17

Tulisan kurang kegiatan bertambah

Ini sekaligus semacam refleksi, meskipun terlambat, tentang blogging ataupun kegiatan Bali Blogger Community (BBC) selama tahun 2009. Sebab tema ini pula yang kami diskusikan pada siaran di Radio Bali FM, Minggu malam kemarin. Siaran bertema Refleksi Blogging di Tahun 2009 tersebut merupakan siaran perdana di tahun 2010.
Aku ikut siaran semalam bersama dr Oka Negara dan Winarto. Januari ini merupakan bulan keempat sejak siaran perdana pada 4 Oktober lalu. Wah, tak terasa. Ternyata sudah empat bulan BBC siaran di Bali FM tiap Minggu malam.
Soal refleksi blogging pada tahun 2009, aku melihat memang terjadinya penurunan drastis dari segi jumlah tulisan teman-teman blogger di Bali. Ini bisa langsung dilihat dari beberapa blog anggota BBC. Misalnya, salah satu pesohor di BBC, Saylow. Jarak antara tulisan terakhir dengan tulisan sebelumnya hingga 6 Januari lalu sampai satu bulan lebih.
Lalu coba cek blog Pak De Yanuar, salah satu suhu dan moderator milis BBC. Ternyata jarak tulisan terakhir dengan tulisan sebelumnya juga sampai berbulan-bulan. Malah tulisan paling atas di blognya hingga saat ini dibuat awal Desember lalu. Itu pun cuma satu foto dengan tulisan tiga paragraf.
Mari cek blog yang lain: Aprian, Gus Tulank, Nyoman Baliun, Bowo, dan seterusnya. Rata-rata blog mereka tidak diperbarui selama Desember. Apri malah sudah sejak April tahun lalu. Keliatan kan malesnya. :D
Begitu pula aku. Secara umum aku merasa semangat untuk ngeblog memang jauh berkurang. Padahal dulunya, sesibuk apa pun, aku selalu menyempatkan untuk memperbarui tulisan di blog. Tahun 2009, sepertinya jadi tahun terburuk dalam hal semangat ngeblog. Tahun ini sepertinya akan lebih parah.
Aku tidak tahu pasti. Tapi sekilas memang aku lihat bahwa semangat untuk ngeblog pada banyak blogger sudah berkurang. Kambing hitamnya selalu sama, Facebook!
Alasan ini masuk akal. Sebab salah satu fungsi blog pada awalnya memang untuk jejaring sosial juga selain untuk berbagi ide ataupun pengalaman. Dulunya orang berbagi kabar lewat blog. Nah, fungsi itu sekarang sudah digantikan oleh Facebook. Atau bisa juga oleh layanan microblogging seperti Twitter.
Contoh-contoh pada blogger di atas mungkin mewakili situasi umum dunia persilatan blog setahun lalu.
Meski demikian, ada juga pengecualian. Sebagian blogger anggota BBC justru sangat rajin ngeblog. Blogger yang masuk dalam kelompok ini antara lain Pande Baik dan Wira Utama, yang hampir tiap hari menambah materi blognya. Selain dua pegawai negeri sipil (PNS) ini, blogger lain yang masih rajin ngeblog adalah Eka, Agung, dan Winarto sendiri.
Toh, bagiku, secara umum dunia blog tetep lebih sepi dibanding satu atau dua tahun lalu.
Menariknya, meski jumlah tulisan jauh berkurang, kegiatan BBC justru makin banyak tahun lalu. Melihat pada daftar kegiatan BBC di grup Facebook, setidaknya ada 16 kali kegiatan. Aku lupa satu per satu. Tapi di antaranya adalah Taun Baruan dan Bakti Sosial di Nusa Lembongan, Pitulasan di Panti Jompo Wana Seraya, Pameran dan Donor Darah di Kuta Karnival, Lomba Blog Kuta Karnival, sampai acara paling keren di BBC, Berbagi Tak Pernah Rugi.
Berbagi Tak Pernah Rugi merupakan kegiatan pelatihan teknologi informasi yang diadakan untuk berbagai komunitas di Bali. Selama tahun 2009, kegiatan ini antara lain diadakan di Sanggar Anak Tangguh di Desa Guwang, Sukawati; di Banjar Serongga, Kota Gianyar; serta untuk kalangan difabel (penyandang cacat) di Abiansemal, Badung.
Selain kegiatan yang makin banyak, jumlah anggota BBC juga terus bertambah. Di milis hingga saat ini ada 372 blogger. Yang mengejutkan, di Facebook lebih banyak lagi, 394 orang! Wah, banyak juga ya. Padahal paling banyak kalau kumpul ya 80 orang. Sisanya ke mana aja ya? :)
Hal lain yang menarik pada tahun 2009 adalah munculnya generasi baru di BBC. Yap. Lagi-lagi ya harus menyebut nama Gung WS, Lina, dan Eka Dir. Darah-darah baru ini tak hanya pelengkap tapi juga aktif dalam kegiatan BBC. Salah dua buktinya adalah perayaan Dua Tahun BBC November lalu dan pameran di Denpasar Festival akhir tahun lalu.
Tak hanya itu. Anggota baru ini juga ternyata melahirkan pasangan baru di BBC meski juga ada beberapa pasangan yang mengakhiri hubungan mereka. Pasangan baru ini ada yang baru pacaran, ada juga yang baru melangsungkan pernikahan. Misalnya, Pak De Yanuar dan Arie serta Kojaque dan Efi. Toh, ada pula yang sudah bertahun-tahun mencari pasangan di BBC juga tak ketemu juga.

Indah Saling Berbagi

Teman-teman ngobrolku Sabtu awal Mei lalu ada benarnya. Blogger Indonesia memang jarang berbagi tentang ilmu yang mereka miliki dan kuasai. Ini berbeda dengan blogger luar negeri, contohnya saja Amerika Serikat, yang rajin membagi keahlian mereka lewat blog.
Obrolan itu terjadi ketika kami batal main futsal. Teman-teman anggota Bali Blogger Community (BBC) -Dek Didi, Gus Tulang, Agung Ardana, Aprian, dan aku- duduk lesehan di samping lapangan sambil ngobrol ke sana ke mari. Aku suka dengan suasana yang spontan, ide yang mengalir, dan tema yang kami diskusikan.
Tidak hanya suka, aku juga mengamininya. Memang inilah mungkin salah satu masalah di dunia blogging Indonesia. Terlalu banyak yang mengumbar pengalaman personal dibanding ilmu yang dikuasai.
Aku salah satunya. Aku baca kembali blogku, isinya memang justru lebih banyak cerita-cerita personal dan jelas tak penting bagi orang lain. Ini berangkat dari pemikiran bahwa blog memang tempat untuk merayakan hal-hal tak penting tentang diri kita atau apa-apa yang bagi orang lain mungkin tak penting tapi menurut kita penting. Sederhananya tidak ada yang tak penting di blog.
Sekali lagi ini tidak masalah.
Masalahnya kadang-kadang terjadi justru ketika aku mencari sesuatu yang aku perlu. Aku cari di Google dan yang kutemukan justru sesuatu yang menurutku gak nyambung sama sekali. Di sisi lain aku sendiri justru merasa bahwa aku seharusnya bisa membagi apa yang aku tahu tentang hal itu.
Misalnya saja soal teknik menulis. Memang aku bukan orang yang sangat ahli. Tapi untuk sekadar berbagi teknik menulis rasanya bukan sesuatu yang susah bagiku. Toh aku juga sudah punya beberapa tulisan tentang hal ini.
Masalahnya justru ketika aku mau nulis soal teknik menulis misalnya itu di blog, misalnya, sudah ada perasaan minder terlebih dulu. Takut dianggap ngeminter alias sok pinter. But ternyata apa yang kutemukan di internet kemudian ya tak lebih banyak dibanding yang aku tau.
Jadi ya sudahlah. Akhiri saja perasaan takut dianggap sok itu. Mari mulai rajin membagi ilmu yang kita tahu. Seperti kata Gus Tulank, berbagi toh tak pernah rugi

Habis bloging lanjut posting

Jalan-jalan ke blog orang lain (blog walking) adalah salah satu hal yang biasa dilakukan blogger. Kalau bagiku sendiri sih tujuan blog walking ini karena empat alasan.
Pertama, ingin tahu hal terbaru dari blogger lain. Menariknya ngeblog itu kan karena apa yang ada di blog itu cenderung personal. Jadi asik saja baca tulisan orang lain yang tidak mungkin ada di media umum itu. Blog adalah tempat orang-orang biasa bisa cerita dengan segala kesederhanaan dan kemanusiaan mereka sendiri. Kedua, karena kunjungan balasan. Tidak enak saja kalau ada blogger berkomentar di blogku lalu aku tidak klik balik blog teman tersebut. Biasalah. Ada aksi ada reaksi. Meski tidak semua komentator bisa dikunjungi balik, namun setidaknya aku sudah berusaha untuk itu.
Ketiga, menambah teman. Meski banyak blogger yang kutemui di dunia maya ini belum pernah ketemu secara fisik, namun kalau baca blog mereka itu seperti ngobrol asik dengan seorang teman. Asiknya lagi kalau selesai blog walking itu lalu memberikan komentar. Nah, memberi komentar ini adalah bagian dari alasan keempat: tebar pesona lewat komentar. Sambil kita berkomentar di sana, kita berharap blogger itu akan balik berkunjung seperti alasan nomor dua. Jadi ini ada pamrih di balik komentar. Hehe..
Masalahnya kadang-kadang sebel juga kalau sudah capek-capek blog walking namun tidak hal baru di blog teman tersebut. Apalagi aku sudah pernah kasih komen sebelumnya di postingnya yang terakhir. Aku langsung mikir, “Aduh ini kok gak diupdate-update sih?”
Tiap orang punya alasan masing-masing untuk tidak rajin update blognya. Nah, dua alasan, seperti yang sering aku alami sendiri adalah karena tidak adanya waktu dan ide. Kalau karena alasan waktu, ini memang susah. Apalagi kalau blogger itu memang ngeblog karena hobi, bukan untuk cari uang. Jadi ya suka-suka saja kapan mau posting alias nulis.
Tapi kalau tidak posting karena tidak ada ide, nah ini dia yang gawat. Jangan-jangan mencari ide untuk ngeblog atau posting bagi sebagian orang memang susah. Soalnya menurutku banyak banget hal yang bisa ditulis di blog.
Berangkat dari pengertiannya sebagai web log alias catatan harian di website, maka tentu cerita tentang diri sendiri adalah hal paling mungkin untuk ditulis. Bisa saja tentang apa yang kita lakukan, di mana, kapan, sama siapa, bagaimana kejadiannya, bagaimana perasaan kita, dan seterusnya. Soal orang lain tertarik atau tidak sama tulisan itu ya terserah si pembaca. Orang kita ngeblog memang untuk menceritakan diri sendiri. Kalau tidak narsis, tentu bukan blogger namanya.
Pembenaran lebih intelek (hehe) dari narsisme blogger adalah karena sesuatu yang besar pun terdiri dari banyak hal kecil. Dunia terdiri dari berbagai negara. Negara terdiri dari berbagai provinsi. Provinsi terdiri dari berbagai kota. Dan seterusnya hingga unsur paling kecilnya adalah satu orang. Jadi tidak mungkin kita ngomong sesuatu yang besar tanpa ngomong tentang satu orang alias blogger itu sendiri. Hehe..
Kedua, selain tentang kegiatan sehari-hari, ide untuk posting juga bisa datang dari apa yang ada di sekitar kita. Pacar, adik, kakak, tetangga, teman, dan seterusnya bisa jadi bahan yang asik untuk diposting. Ketiga, ide posting juga bisa datang dari media massa seperti koran, majalah, TV, dan seterusnya. Ini sih kecenderungannya kalau mau nulis sesuatu yang bersifat mengkritisi.
Kalau menurut teori jurnalistik sih cara menulis opini tentang sesuatu begini cukup dengan mendeskripsikan apa yang terjadi lalu memberinya penilaian. Misalnya maraknya penangkapan preman di Denpasar saat ini. Bagaimana sikap kita? Kenapa kita bersikap demikian? Apa buktinya? Dan seterusnya. Btw, teori ini memang gampang. Tapi aku sendiri tidak bisa juga nulis opini yang bagus sampai sekarang. Bisanya cuma nulis di blog sendiri. Hihihi..
Nah, selain tiga cara mencari ide posting tersebut (diri sendiri, orang lain, dan media massa), aku juga baru sadar beberapa hari ini kalau ternyata blog walking juga bisa jadi salah satu sumber mencari ide bahan posting. Jadi ketika jalan-jalan ke blog orang lain, sering kali aku dapat ide baru untuk membuat posting. Bisa saja aku punya pengalaman sama atau aku ingin bercerita tentang tema yang sama meski beda sudut pandang dan seterusnya.
Tapi kadang tidak ada posting baru pada blog orang lain pun ternyata bisa memunculkan ide baru untuk nulis. Salah satunya ya posting ini. Jadi, aku memang harus rajin-rajin blog walking biar bisa rajin posting.

Agar tulisan bisa dipercaya masyarakat

Percayalah sama status Luna Maya di twitter daripada infotainmen.

Sebab, status Luna Maya di twitter adalah pernyataan resminya sedangkan infotainmen merupakan tafsir mereka terhadap status itu. Luna Maya adalah sumber pertama, infotainmen sumber kedua.
Sumber primer lebih layak dipercaya daripada sumber skunder. Itulah salah satu kriteria sejauh mana tulisan, blog, atau website bisa dipercaya.
Tulisan ini melanjutkan tulisan lain tentang tema sebaliknya, ukuran sebuah blog kurang bisa dipercaya.
Materi tulisan ini merupakan salah satu diskusi di kelas dalam kursus media online yang aku ikuti bersama anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) lainnya di Radio Nederland Training Centre (RNTC) Hilversum, Belanda April-Mei lalu.
Dalam diskusi tersebut, kami sepakat bahwa ada beberapa kriteria kenapa sebuah blog atau website layak dipercaya isinya. Sebuah blog atau website bisa dipercaya jika (1) memuat pernyataan resmi, (2) didukung oleh fakta dan data yang bisa diverifikasi, (3) hasil observasi atau pengalaman pribadi, (4) memuat informasi dalam format lain seperti video dan foto, (5) dekat dengan sumber tulisan, (6) memuat informasi lebih dari satu sumber, dan (7) ditulis oleh ahli, saksi, atau orang yang kredibel.
Kriteria di atas, kami diskusikan, sebenarnya ditujukan untuk website. Tapi, menurutku, itu bisa juga dipakai untuk menilai tingkat kepercayaan sebuah blog atau isinya.
Memuat pernyataan resmi
Pernyataan resmi, misalnya, siaran pers, fact sheet, atau komentar atas sesuatu. Kalau dulu, sih, bisa jadi hanya siaran pers, maka pernyataan resmi saat ini bisa muncul berupa kutipan langsung dari lembaga tersebut yang dimuat di website, blog, atau jejaring sosialnya.
Contohnya, kita menulis soal kasus video Luna Maya, terus artis cantik ini menyangkal video tersebut melalui akun twitter atau blognya (btw, apa ya blognya Luna Maya? Hehe), maka akan lebih bagus kalau kita mengutip pernyataan resmi dari Luna Maya daripada hanya dari infotainmen. Selain infotainmen memang kadung sentimen sama dia, juga karena informasi langsung dari Luna Maya tentu lebih afdhol.
Didukung oleh fakta dan data yang bisa diverifikasi
Kalau sebuah tulisan bisa menampilkan data dan fakta maka pembaca tentu akan lebih yakin dengan isinya. Data biasanya berupa angka-angka dan jumlah. Kalau fakta adalah kejadian yang memang ada. Akan lebih bagus lagi kalau data dan fakta ini bisa dicek ke tempat lain alias diverifikasi.
Katakanlah kita menulis tentang banyaknya korban ledakan gas, maka akan lebih bagus kalau ada data yang kita masukkan dalam tulisan tersebut. Datanya bisa kita temukan dari sumber lain, misalnya media massa, lembaga konsumen, atau penelitian yang terkait dengan itu dari peneliti. Hasil riset ini bahkan bisa jadi kekuatan tersendiri.
Agar pembaca bisa melakukan verifikasi, sebaiknya cantumkan tautan (link) pada sumber yang kita kutip tersebut.
Hasil observasi atau pengalaman pribadi
Sebuah tulisan akan lebih meyakinkan dan bisa dipercaya kalau menceritakan pengalaman atau pengamatan pribadi. Misalnya, kita menulis pengalaman dikejar-kejar preman, tentu si pembaca akan lebih percaya kalau penulisnya pernah mengalaminya langsung, tak sekadar membayangkan dikejar-kejar preman.
Contoh lainnya kita menulis soal tips jalan-jalan murah di Bali tentu akan lebih kuat ceritanya kalau kita sendiri pernah jalan-jalan murah di Bali. Dengan begitu, menurutku, pembaca akan lebih yakin dengan cerita tersebut. Lha kan gak lucu kalau kita sudah menulis menggebu-gebu seolah-olah melakukannya sendiri tapi sebenarnya cuma saltem alias salin tempel alias copy paste tulisan orang lain.
Memuat informasi dalam format lain seperti video dan foto
Ada pendapat yang mengatakan satu foto menyampaikan ribuan cerita. Ada juga yang bilang, tanpa foto adalah hoax! Sebuah foto bisa menjelaskan banyak hal. Dengan memasukkan foto di dalam tulisan di blog, maka tulisan itu akan lebih kuat. Orang akan lebih percaya, bahkan hanya dengan melihat foto tersebut.
Sebenarnya akan lebih bagus lagi kalau kita memasukkan video dalam tulisan itu. Namun, karena alasan susahnya koneksi, maka video ini masih jadi barang mewah di tulisan.
Selain memperkuat tingkat kepercayaan pada tulisan, foto atau video juga sangat membantu memberikan penjelasan. Misalnya, daripada bertele-tele menjelaskan bentuk rumah baru kita, cukup jepret lalu masukkan fotonya ke dalam blog. Pembaca akan tahu, oh, gentengnya biru, dindingnya hijau, dan seterusnya.
Dekat dengan sumber tulisan
Kalau dalam teori jurnalistik, sih, ada tingkatan narasumber yang bisa dipercaya. Urutannya dari primer sampai tak terbatas. :) Makin dekat dengan sumber tulisan atau sumber berita, maka tulisan itu makin bisa dipercaya.
Sebagai contoh kita menulis tentang penyalahgunaan narkoba. Maka, tulislah pengalaman teman-teman kita atau orang terdekat kita yang pernah melakukan penyalahgunaan narkoba seperti ngedrag, cucaw, dan seterusnya.
Meski si penulis sendiri tak pernah melakukan, tapi kalau dia bisa menceritakan apa yang dialami temannya tentu pembaca akan lebih percaya daripada pada orang yang sama sekali tak pernah tahu tentang narkoba.
Memuat informasi lebih dari satu sumber
Sama kayak informasi di dunia nyata. Kalau makin banyak orang yang menceritakan, kita akan makin percaya pada informasi tersebut. Begitu pula dengan tulisan di internet. Daripada hanya satu, tulisan dengan tiga link atau lebih tentu akan lebih bisa dipercaya. Apalagi kalau sumber yang dikutip tersebut adalah sumber-sumber kredibel.
Informasi yak tak jelas sumbernya, apalagi ditulis pula oleh blogger yang tak terkait langsung, tak mengerti masalah, dan tanpa data ataupun fakta tentu akan makin susah dipercaya. Kalau kita bisa memberikan referensi tulisan tentu akan lebih dipercaya orang.
Ditulis oleh ahli, saksi, atau orang yang kredibel
Bagian ini masih mirip-mirip dengan kedekatan sumber. Makin dekat dengan sumber tulisan maka tulisan itu akan makin layak dipercaya. Bedanya, pada bagian ini juga menyangkut ahli dan atau saksi mata.
Misalnya, blog itu membahas soal kuliner, tentu tulisan Bondan Winarno atau Farah Quinn lebih dipercaya daripada ditulis Ngurah Karyadi. Hehe.. Tapi, kalau tulisan itu soal suka duka jadi aktivis di Bali, maka Ngurah Karyadi yang dedengkot aktivis di Bali itu tentu lebih layak dipercaya kalau menulisnya dibanding Farah Quinn. :)
Karena alasan inilah, maka, menurutku, sangat penting untuk membuat profil diri serelevan mungkin dengan isi blog kita. Kalau isi blognya soal kesehatan, maka pengalaman sebagai dokter harus ditulis di profil diri meski punya pengalaman segudang sebagai seorang ayah. Tapi, kalau tulisannya soal cara mendapatkan cewek, maka pengalamannya sebagai playboy perlu disebut dalam profil diri.

twitter lebih rumit



Ketika semakin jarang ngeblog, aku justru makin rajin mantengin Tweetdeck.

Di aplikasi Tweetdeck, pengguna bisa mengatur banyak akun jejaring sosial. Selain Facebook dan Twitter, pengguna bisa menambah akun Foursquare (penanda lokasi), Myspace (musik), Buzz (mikroblogging ala Google), dan Linkedin (profil profesional).
Dari sekian layanan jejaring sosial yang bisa dipakai itu, aku pakai tiga. Buzz, Facebook, dan Twitter. Buzz itu tak jauh beda dengan Twitter. Setidaknya itu yang aku tahu. Bedanya, Buzz, seperti juga Facebook, tak terbatas pada 140 karakter untuk memerbaharui status di akun.
Di dua akun ini, bisa dikatakan aku hanya sehari memerbaharui status. Malah, kadang sehari juga melewatkannya.
Akun Twitter yang justru sekarang terus aku pakai untuk dua hal utama: membagi tulisan dan mendapatkan informasi. Seperti jejaring sosial lain, penggunaan Twitter terlihat hanya untuk main-main. Padahal, menurutku, Twitter sangat bisa mendukung kegiatan jurnalistik juga.
Untuk konteks jurnalisme, aku setidaknya menggunakan Twitter untuk tiga hal, yaitu belajar menulis pendek, menyebarluaskan tulisan, serta menyerap info dari sumber lain. Inilah tiga manfaat Twitter untuk jurnalis ala aku tersebut.
Belajar menulis kalimat pendek
Karena ada batasan jumlah karakter yang bisa ditulis di Twitter cuma 140, maka mau tak mau pengguna harus menurutinya. Memang ada beberapa aplikasi yang bisa membuat status agar melebihi batasan jumlah ini. Tapi, untuk apa. Seninya Twitter, ya, pada 140 karakter itu.
Konsekuensinya, pengguna Twitter harus bisa menyampaikan pesan singkat lewat statusnya. Dalam 140 karakter ini, pengguna harus bisa menyampaikan pesan dengan materi yang bisa dipahami pembaca atau pengikut (followernya).
Menurutku, sih, ini menjadi latihan tersendiri bagi jurnalis. Jurnalis yang biasa menggunakan Twitter akan terbiasa menulis kalimat lebih pendek.
Menulis dalam kalimat lebih pendek ini penting, terutama untuk jurnalis media online. Pada media cetak pun rasanya tak jauh beda. Makin pendek kalimat, makin mudah pembaca untuk memahaminya. Tentu saja harus ada kelengkapan unsur tulisannya. Setidaknya apa, siapa, dan di mana.
Menyerap informasi
Twitterland itu ibarat pasar burung. Banyak sekali burung berkicau, termasuk orang yang menawarkan burung itu sendiri. Tiap hari Jumat ada istilah #FF alias Follow Friday di mana para pengguna Twitter akan memromosikan “burungg-burung” yang mereka anggap layak untuk didengarkan kicauannya.
Nah, sebagai jurnalis, kita jadi bertambah informasi tentang siapa sih orang yang tahu dan ahli di bidang tertentu.
Di Twitterland pula jurnalis bisa mendapatkan informasi secara real time dari lapangan. Tiap orang cenderung ingin segera mengabarkan tiap informasi yang mereka punya. Begitu juga pengguna Twitter alias Tweeps. Di sini mereka bisa mengabarkan kemacetan, banjir, cuaca, atau apa saja yang mereka alami.
Kadang-kadang memang menyebalkan melihat garis waktu atau time line, garis di mana kita bisa melihat apa saja kicauannya, seseorang Tweep hanya berisi keluh kesah tentang dirinya. Kalau yang begini, sih, tinggalkan saja. Apalagi kalau aku tak kenal secara personal.
Menyerap informasi dari Twitter ini tak hanya dari orang-orang “biasa”, tapi juga media lain sebagai referensi. Misalnya, apa yang ditulis Kompas.com bisa segera disampaikan oleh akun Kompas di Twitter. Begitu pula informasi dari detik.com, Vivanews, BBC, Poynter, Wikileaks, dan seterusnya.
Mengikuti akun media-media ataupun lembaga memudahkan jurnalis untuk mendapatkan informasi ataupun peluang.
Menyebarkan tulisan (amplifier)
Salah satu fungsi jejaring sosial adalah untuk membuat suara media lebih bergema. Lagi-lagi sih ini untuk media yang punya akun online. Twitter pun demikian salah satu fungsinya.
Melalui Twitter, jurnalis bisa menyebarluaskan tulisannya dalam bentuk tautan (link) sebagai update status. Ini sama saja dengan Facebook sebenarnya. Bedanya, di Facebook status bisa terlihat lebih lama. Kalau di Twitter sangat cepat perubahannya, apalagi kalau menggunakan dari aplikasi Tweetdeck.
Kita memang tak bisa memengaruhi, apalagi memaksa, pembaca untuk membuka tautan itu lalu membaca isinya. Tapi, lewat status tersebut, kita telah memberi tahu mereka lewat alat pengeras suara, “Woi, aku barusan selesai menulis, lho. Ini linknya..”
Agar pembaca tertarik membaca, judul tulisan atau status di Twitter itu harus semenarik mungkin. Pakai Toa saja tidak cukup kalau informasinya garing.
Suara kita makin bergema kalau ada pengguna Twitter yang mengicaukan ulang alias me-retweet (RT) kicauan kita. Setelah itu, biarkan kekuatan viral dunia maya bekerja. Dia akan berjalan sendiri sesuai hukum ia maya. Ke sana ke mari tanpa bisa kita kendalikan.

Di bali komunikasi jadi yg utama


Di Jakarta, media dunia maya bersinergi digdaya dengan media arus utama. Di Bali masih jauh panggang dari api.
Banyak contohnya. Dua di antaranya yang terbukti ampuh adalah ketika media arus utama memberitakan penahanan Prita Mulyasari. Prita adalah konsumen yang dipenjara gara-gara emailnya tentang keluhan terhadap pelayanan rumah sakit bocor ke ranah publik. Prita dipenjara dengan tuduhan pencemaran nama baik. Dia pun ditahan.
Setahuku, penahanan Prita isu ini sudah pernah ditulis oleh para pegiat dunia maya namun kemudian tenggelam lagi. Kasus Prita mencuat lagi ketika media arus utama memberitakan penahanan Prita. Secara masif, berita-berita itu terus diproduksi oleh media arus utama, termasuk media-media besar, seperti Tempo, Kompas, Metro TV, TV One, maupun media-media lain.
Di sisi lain, para pegiatan dunia maya juga aktif membangun solidaritas untuk Prita melalui group, banner, blog, dan seterusnya. Kasus Prita kemudian membangunkan kesadaran warga di dunia maya ataupun dunia nyata bahwa ada hak warga yang telah dirampas oleh Negara ataupun mereka yang punya kuasa.
Pada kasus Cicak Lawan Buaya pun demikian. Grup di Facebook yang mendukung anggota Komisi Pemberantasan Korupsi Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto menjadi salah satu bukti bagaimana suara-suara di dunia maya itu menjelma menjadi kekuatan baru untuk menekan.
Media arus utama bersama jejaring sosial di dunia memberikan kekuatan luar biasa.
Tapi, itu di Jakarta. Di Bali belum. Belum banyak, atau bahkan belum ada, bukti suara-suara di dunia maya bisa ikut memberi warna pemberitaan media arus utama di Bali. Blog, Twitter, Facebook, seperti hidup di dunianya sendiri. Terpisah dengan pemberitaan media arus utama seperti Bali Post, Radar Bali, NusaBali, Bali TV, Dewata TV, dan media-media lain di sini.
Menurutku ada beberapa penyebab. Pertama, pengguna jejaring sosial di Bali lebih suka berbagi tentang dirinya dibanding lingkungannya. Tulisan di blog, update status di Facebook, atau kicauan di Twitter dari Bali lebih banyak berbicara tentang penggunanya. Misalnya, dia lagi di mana, ngapain, dan semacamnya.
Sebagian blogger Bali memang menulis isu-isu lain secara reguler. Misalnya, Pande Baik yang rajin berbagi tentang gadget maupun jejaring sosial. Atau dr Made Wirawan yang menulis isu kesehatan dan internet. Tapi, isu-isu tersebut jarang terkait langsung dengan tema-tema aktual di Bali.
Aku sendiri tak jauh beda. Jarang menulis tentang tema-tema aktual di Bali. Kalau toh nulis di blog ini memang lebih bersifat personal. Kalau di Bale Bengong lebih sering menulis isu-isu “remeh temeh” yang memang tak seksi sama sekali untuk media arus utama.
Sebenarnya, akan menarik kalau ada blog yang rajin menulis dengan analisis terkait isu-isu aktual di Bali. Tapi, ini bukan pekerjaan mudah. Selain butuh waktu juga butuh pengetahuan cukup untuk memberikan tulisan dengan perspektif berbeda dibanding media arus utama. Aku sendiri menyerah. Belum bisa melakukannya.
Penyebab kedua, masih gagapnya media arus utama dengan jejaring sosial. Media-media di Bali masih gagap atau bahkan belum menggunakan jejaring sosial untuk mendukung kerja mereka. Bali Post, harian tertua dan terbesar di Bali, misalnya, belum serius mengelola page di Facebook. Di websitenya, Bali Post belum membuat integrasi dengan Facebook.
Begitu pula dengan Twitter. Media arus utama di Bali hanya Bali Post dan Bali TV yang punya akun microblogging ini. Itu pun belum serius digarap. Itu masih mending dibanding Radar Bali, NusaBali, atau Dewata TV. Mereka belum punya akun Twitter, setidaknya hingga tulisan ini aku buat.
Padahal, kalau punya akun di Twitter, mereka tak hanya bisa terus menerus berbagi informasi tapi juga mendapat respon atau informasi dari followernya.
Penyebab ketiga, belum adanya aktivis dunia maya terkemuka di Bali atau sebaliknya, tokoh penting di Bali yang rajin berjejaring sosial. Ini sangat bisa diperdebatkan tapi, menurutku, lumayan penting. Di Jakarta, banyak pengguna jejaring sosial yang punya nama ini dan jadi referensi media arus utama. Untuk blog, misalnya, Budi Putra, Enda Nasution, Ndorokakung, atau Pandji bisa jadi acuan.
Mereka-mereka ini tak hanya punya nama tapi juga jadi acuan oleh media arus utama untuk melihat isu aktual melalui blog atau twitternya. Begitu pula di Twitter. Sherina Munaf, Fahira Idris, Budiman Sudjatmiko, dan seterusnya adalah pengguna Twitter yang kicauan mereka pun bisa jadi acuan.
Di Bali, menurutku, seharusnya Jerink Superman is Dead dengan hampir 50.000 follower bisa membentuk opini Tweeps tentang isu aktual di Bali. Tapi, Jerinx sepertinya lebih sering menggunakan Twitter untuk menjawab sapaan atau pertanyaan penggemarnya dibanding membahas isu-isu aktual di Bali.
Bali perlu orang-orang yang sudah punya “nama” sekaligus kemauan dan wawasan untuk berbagi lewat Twitter. Aku bayangkan, misalnya Ngurah Harta atau Wayan Juniartha yang sudah punya “nama” itu rela ngetwit atau berbagi opini lewat blog. Aku yakin cerita mereka akan jadi salah satu acuan.

BB di blokir ?


Menteri jagonya cuma blokir ketika koneksi internet tetap saja fakir.
Dengan alasan menolak pornografi, Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring mengancam akan memblokir Blackberry (BB) di Indonesia. Ancaman Menkominfo tersebut sebagaimana ditulis berbagai media, seperti vivanews.com, tempointeraktif.com, maupun akun twitternya sendiri. Banyak alasan yang disebut Menteri. Selain hitung-hitungan bisnis dan nasionalisme, salah satu yang tetap dia sebut adalah alasan blokir ini karena BB tidak mau memblokir situs porno di dalamnya.
Aku tak terlalu tahu urusan teknis, bisnis, apalagi nasionalisme dalam urusan blokir ini. Maka aku tak akan memperdebatkannya. Aku cuma masih tak mengerti kenapa (lagi-lagi) urusan pornografi membuat Pak Menteri ini begitu paranoid. Maka, menteri satu ini tak terdengar program maupun kerjanya mengurus komunikasi dan informasi di negeri ini selain urusan blokir situs porno itu tadi.
Program blokir situs porno ini selalu dia banggakan, termasuk dalam kicauan-kicauannya.
Urusan pornografi itu memang sangat bisa diperdebatkan. Kalau aku sendiri merasa bahwa mengatasi masalah ini bukanlah dengan memblokirnya sama sekali. Banyak contoh bahwa di negara yang membebaskan urusan pornografi pun sangat sedikit kasus pelecehan seksualnya. Paling tidak itu terjadi di Belanda.
Sebaliknya, di negara di mana seks sangat dibatasi justru banyak terjadi pemerkosaan. Maka, pertanyaan mendasarnya: apakah pornografi memang berbahaya? Bagiku tidak.
Aku lebih percaya bahwa mendidik pengguna internet, termasuk pengakses situs porno, lebih penting daripada melarang mereka membuka situs mesum. Pendidikan ini bisa tentang seks, bisa juga tentang perlunya mengakses hal-hal lain selain situs-situs porno itu.
Karena itu, memblokir situs porno bukan hal terpenting yang harus dikerjakan Menkominfo. Mendidik pengguna internet alias internet literacy, seperti dilakukan kawan-kawan Internet Sehat jauh lebih penting dibanding memblokir situs porno. Kalau pengguna sudah cerdas, pemerintah tak perlu cemas.
Setelah pengguna tahu bahwa internet menyediakan banyak hal menarik selain situs porno, tugas pemerintah selanjutnya adalah menyediakan jaringan internet yang memadai. Urusan ini, aku tak pernah mendengarnya sama sekali. Dulu, ada ambisi besar bernama Ring Palapa untuk mengatasi kesenjangan jaringan antara Jawa dengan luar Jawa, terutama Indonesia Timur. Tapi tak jelas juntrungannya.
Karena tak memadainya koneksi internet ini, maka program atau kegiatan internet literacy oleh warga ini justru terhambat. Aku sendiri tak terhitung berapa kali mengalaminya.
Kegiatan pelatihan internet ini selalu jadi hal menyebalkan karena parahnya koneksi internet di negeri ini. Tidak usahlah ngomong tentang kecepatan, ketersediaan sajalah dulu. Ini masih payah, apalagi di kawasan Indonesia Timur.
Ketika kasih pelatihan internet untuk penggiat LSM di Kabupaten Timor Tengah Utara akhir 2009 lalu, misalnya, internet di sana lambatnya setengah mati. Begitu juga ketika pelatihan blog di Bali. Terakhir, ketika kasih pelatihan internet di Makassar akhir tahun lalu.
Tiap kali kasih pelatihan tentang internet, masalah sama selalu kami hadapi: koneksi lambat atau bahkan macet sama sekali!
Ironisnya, ketika kelompok masyarakat sipil ini rajin kasih pelatihan tentang internet, kami justru tak pernah mendengar sama sekali pemerintah melakukannya. Bandingkan, misalnya, dengan masyarakat sipil, misalnya Pesta Blogger, Obrolan Langsat, Internet Sehat, dan lain-lain yang menggunakan internet dan jejaring sosial untuk mendidik pengguna internet ini.
Sebaliknya, aku hampir tak mendengar langkah serupa oleh departemen yang mengurusi internet ini. Lha, bagaimana bisa kerjanya benar kalau menterinya cuma jago blokir dan bikin

menteri gagal komunikasi

Membaca tulisan CNN Indonesia: Twitter nation, menyadarkan lagi pada kegagalan Tifatul Sembiring untuk berkomunikasi.

Dibanding mengutip komentar dari menteri yang mengurusi komunikasi dan teknologi informasi, CNN lebih memilih Enda Nasution untuk berkomentar. Makna di baliknya, untuk urusan teknologi informasi, media asing lebih percaya pada Enda daripada Tifatul.
Sebaliknya, Tifatul malah terlihat sebagai pejabat yang malu-maluin: ngotot mengaku tak mau salaman dengan Michelle Obama meski videonya memperlihatkan betapa semangatnya dia menjabat tangan Michelle. Akibatnya, kelakuan itu malah jadi celaan di banyak media internasional. Termasuk kali ini di CNN.
Inilah anehnya menteri satu ini. Sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi, Tifatul harusnya bisa memberikan contoh berkomunikasi yang baik. Tapi, dia gagal.
Contoh paling mutakhir, ya, dari kasus pengingkaran salaman dengan Michelle Obama itu. Dia sepertinya lupa bahwa komunikasi di mana tiap orang mempunyai posisi sama seperti di jejaring sosial (social media) ini tak lagi hanya searah. Dia tak bisa mendiktekan begitu saja apa yang dia anggap benar itu pada para pengikutnya di Twitter ataupun jejaring sosial lain.
Lebih parah lagi kalau di kalangan pengguna jejaring sosial. Menteri yang seharusnya bisa mengajak para pengguna jejaring sosial untuk duduk bersama ini malah seperti jadi musuh tiap orang. Kicauannya di Twitter hampir selalu ditanggapi sinis oleh banyak pengguna Twitter lainnya.
Alasannya, antara lain lebih seringnya dia berpantun dan berkhotbah daripada memberikan informasi tentang program, kegiatan, atau perkembangan di departemennya. Dia jelas gagal menggunakan jejaring sosial ini untuk kepentingan berkomunikasi.
Dia tak bisa hanya ngomong dan selesai lalu semua orang manggut-manggut hanya diam meski tak setuju dengan apa yang dia sampaikan. Ini zaman komunikasi tak lagi searah tapi dari banyak arah. Kalau dulu orang cuma bisa diam dalam hati meski tak sepakat, kini tiap orang bisa menilainya sekaligus menyebarluaskannya.
Sebaliknya, dengan jejaring sosial, media arus utama pun bisa dengan mudah menemukan siap orang-orang yang lebih bernilai berita ini dibanding orang-orang yang ngomong hanya karena jabatannya, bukan kapasitasnya. Makanya, dibanding mengutip omongan Tifatul, yang menjadikan internet sebagai ancaman dibanding peluang, media arus utama lebih senang wawancara Enda, salah satu blogger terkemuka di Indonesia.
Jejaring sosial punya aturan tersendiri. Kami lebih percaya pada teman-teman kami sendiri daripada pada menteri.

jangan takut2i kami


Nyaris semua komunitas blogger belum pernah didukung pemerintah setempat.
Kesimpulan itu aku ambil setelah bertanya lewat Twitter, adakah komunitas blogger daerah yang pernah bekerja sama dengan pemerintah setempat? Ternyata hampir semua penjawab menyatakan belum.
Blogger-blogger yang menjawab tersebut antara lain dari Ambon, Makassar, Bekasi, Bogor, Malang, Palembang, Madura, Surabaya, dan Depok. Mereka yang jawab ini rata-rata penggiat utama atau pengurus komunitas blogger setempat.
Meski datang dari komunitas beragam, jawaban mereka nyaris sama. Pemerintah setempat belum pernah mendukung kegiatan apalagi program komunitas blogger lokal. Cuma dua yang pernah bekerja sama yaitu komunitas blogger Depok dan Bekasi. Itu pun hanya sekali.
Komunitas Blogger Malang, menurut salah satu anggotanya, ketika bikin kegiatannya malah kena pungutan liar. Ini jawabannya dari Fajar Rahman tersebut lewat Twitter.
Pertanyaan ada tidaknya dukungan pemerintah kepada komunitas blogger itu muncul lagi setelah membaca di linimasa bahwa Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2012 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi. Seperti ditulis situs Kominfo, gugus tugas ini merupakan bentuk perhatian serius dari pemerintah terhadap bahaya pornografi.
Tertuduh utamanya tetap sama, internet.
Pembentukan Satgas ini kembali menandakan kelirunya pola pikir Kominfo dan menterinya terkait dengan internet di negeri ini. Internet masih saja dianggap sebagai sebuah ancaman daripada peluang. Materi yang ditakutkan adalah pornografi.
Karena masih saja melihat internet sebagai sumber masalah, maka Pemerintah rajin sekali mengeluarkan aturan yang menakut-nakuti ini. Setelah ada Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Pornografi, pemerintah kemudian memblokir berbagai situs yang dianggap memuat materi pornografi.
Ironisnya, ketika begitu rajin mengeluarkan aturan yang menakut-nakuti pengguna internet ini, Pemerintah justru sama sekali tak pernah mendukung komunitas blogger lokal. Semula aku pikir hanya di Bali, ternyata hampir di semua komunitas blogger di Indonesia.
Ini hanya satu contoh. Di Bali, teman-teman di Bali Blogger Community (BBC) beberapa kali mengajak Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informasi Provinsi dalam kegiatan bersama. Kami minta mereka datang untuk melihat dan kasih dukungan. Ya memang datang. Tapi usai itu ya tak ada lagi. Padahal ketika memberi sambutan pasti bilang, “Kami sangat mendukung kegiatan dan komunitas positif seperti ini. Dan bla bla bla bla..”
Setelah aku tanya lewat Twitter tadi, ternyata nasib komunitas blogger di tempat lain ya tak jauh beda.
Padahal, seharusnya Pemerintah lebih aktif mendukung komunitas-komunitas blogger atau pengguna internet lainnya daripada terus menerus membuat aturan soal pornografi itu tadi.
Bingung
Bentuk dukungan ini bisa dimulai dari yang paling sederhana. Komunitas blogger mana pun itu, rajin sekali mengadakan pelatihan internet untuk komunitas. Secara swadaya, komunitas-komunitas blogger memberikan pelatihan internet, termasuk blog, pada pelajar, mahasiswa, masyarakat umum, dan seterusnya.
Mbok ya komunitas blogger ini difasilitasi pemerintah setempat. Sediakan tempat. Berikan koneksi internet. Kerahkan peserta. Jadwalkan kegiatan secara berkala.
Dukunglah komunitas pengguna internet, tak hanya blogger, untuk bisa lebih produktif ketika menggunakan internet. Misalnya bagaimana cara memproduksi informasi, menjual desain, mencari peluang, dan seterusnya. Ketika pengguna internet ini sudah punya banyak alternatif kegiatan saat online, yakin deh mereka tak bakal terlalu mikir untuk buka situs-situs mesum.
Ini logika ketika momong anak kecil. Kalau dia menangis, tak usah dimarahi atau ditakut-takut. Anak itu akan susah diam karena bingung mesti ngapain. Tapi, cobalah berikanlah dia mainan. Dia akan diam dan main. Begitu pula pengguna internet. Kalau hanya dilarang ini, dilarang itu, terus disuruh ngapain?
Jadi, Pak Menteri. Cukuplah sudah membuat aturan dan satgas yang menakutkan bagi kami. Sudah terlalu banyak. Lebih baik sumber daya dan energi tersebut untuk mendukung kami. Percayalah itu akan lebih berguna.

Bloger kumpul di bali


Daripada menyediakan peluang, pemerintah lebih suka memberikan aturan menakutkan.
Apalagi ketika menteri yang mengurusi teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) saat ini, Tifatul Sembiring, lebih melihat TIK sebagai ancaman daripada peluang. Sejak jadi menteri, mantan Ketua Partai Keadilan Sejahter (PKS) ini, mulai membuat kebijakan yang cenderung mengekang kreativitas dan menakutkan.
Salah satu buktinya adalah lahirnya Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Selain memberikan jaminan keamanan dalam hal transaksi elektronik, seperti jual beli atau perbankan, UU ini juga memuat ancaman-ancaman pada  para pengguna internet. Misalnya, pencemaran nama baik dan pornografi.
Banyak contoh pengguna internet yang mulai dijerat oleh pasal karet dalam UU ini, Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini. Prita Mulyasari, Narliswandi Piliang, dan seterusnya.
Selain UU ITE, contoh ketakutan negara pada kebebasan internet adalah juga diterapkannya blokir internet oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Ini akibat itu tadi, kebebasan internet dianggap sebagai ancaman daripada peluang. Kalau pemerintah melihat kebebasan internet ini sebagai peluang, maka mereka harusnya justru mengajari masyarakat agar bisa menggunakan kebebasan tersebut untuk mendukung produktivitas.
Berkaca dari ide kawan-kawan sesama penggiat kebebasan informasi, setidaknya ada tiga tugas pemerintah termasuk dalam pengembangan TIK ini. Tiga hal tersebut adalah membuat regulasi yang kondusif, membangun infrastruktur yang mendukung, serta mendidik warga agar bisa menggunakan dengan bijak.
Tapi, kalau dilihat kenyataan di lapangan, tugas tersebut masih belum banyak dijalankan. Regulasi masih mengekang. Infrastruktur internet, bahkan telekomunikasi sekali pun, masih terbatas di kota atau Jawa dan Bali. Lalu, mendidik warga? Berapa kali kami ajak pemerintah di Bali, misalnya, untuk kasih pelatihan internet untuk warga, mereka tak merespon sama sekali. Menyakitkan..
Karena itu, tak usah terlalu banyak berharap pada pemerintah. Mending warga melakukan sendiri upayanya dalam pengembangan TIK. Pengguna internet tak bisa menyerahkan begitu saja pengembangan TIK pada pemerintah. Warga pun harus terlibat. Salah satunya dengan aktif memproduksi informasi dan menyebarluaskannya melalui berbagai media, seperti blog dan jejaring sosial.
Sebagai contoh, selama ini pengguna internet mudah menggantungkan pencarian informasi dari mesin pencari semacam Google. Namun, pertanyaannya, sudahkah pengguna internet juga membagi informasi yang mereka punya?
Banyak medianya. Kalau senang menulis agak panjang dan serius bisa lewat blog. Kalau suka menulis singkat dan cepat, tukar informasi bisa disampaikan lewat jejaring sosial, seperti Facebook ataupun Twitter.
Sori kalau jargonnya agak basi. Tapi, inilah saatnya warga memproduksi informasi, tak hanya mengonsumsi.
* Pemikiran di atas disampaikan dalam talkshow Telkomsel bersama Bali Blogger Community (BBC) dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Bali di Kuta, Bali.

Pasal Pengekang Kebebasan Informasi!

April lalu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Selain mengatur masalah transaksi elektronik, UU No 11 tahun 2008 ini juga mengatur ketentuan tentang informasi di dunia maya. Aturan-aturan itu rentan mengancam kebebasan berekspresi terutama pada Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3).
Pasal-pasal tersebut pada umumnya memuat aturan-aturan warisan pasal karet (haatzai artikelen), karena bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi pengguna UU ITE ini. Selain itu, materi pada pasal-pasal tersebut juga bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) terutama tentang kebebasan informasi dan kebebasan berekspresi maupun UUD 1945 tentang kebebasan berpendapat. Sebab setiap pengguna informasi, termasuk blogger di dalamnya, bisa diancam hukuman penjara kapan saja.
Melalui diskusi terbatas pada Minggu (11/05), maka kami pengguna informasi di dunia maya yang tergabung dalam Bali Blogger Community (BBC), menyatakan sikap sebagai berikut:
  1. Menolak semua pasal-pasal dalam UU ITE yang bertentangan dengan HAM serta mengekang kebebasan informasi dan berekspresi.
  2. Mendesak pemerintah agar segera menghapus pasal-pasal dalam UU ITE yang tidak sesuai dengan semangat kebebasan informasi dan berekspresi.
  3. Mengajak semua anggota masyarakat untuk turut serta mendukung aksi-aksi menolak UU ITE dan peraturan lain yang mengekang kebebasan informasi dan berekspresi.
Bali Blogger Community (BBC) adalah komunitas pengguna blog di Bali. Anggota komunitas ini beragam dari praktisi teknologi informasi, mahasiswa, ibu rumah tangga, wartawan, dokter, dosen, pekerja pariwisata, kartunis, desainer, dan seterusnya.

Berikan Dukungan Bukan Ketakutan

Diskusi Jurnalisme Warga Dewan Pers
Pertanyaan yang langsung muncul setelah melihat nama pembicara diskusi Jurnalisme Warga tersebut adalah, “Kenapa mesti dia?”. Pertanyaan itu muncul begitu saja setelah baca nama KRMT Roy Suryo Notodiprojo sebagai salah satu pembicara di diskusi yang diadakan Dewan Pers di Denpasar hari ini.
Dalam undangan resmi yang dikirim panitia, pembicara yang akan hadir di diskusi tersebut adalah Bambang Harymurti (Anggota Dewan Pers), Priyambodo RH (Kantor Berita Antara/ Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Soetomo), dan Enda Nasution (Ketua Blogger Indonesia). Btw, sejak kapan blogger Indonesia ada ketuanya? :)
Dari tiga pembicara yang disebut dalam undangan, hanya Priyambodo yang hadir. BHM, panggilan akrab Bambang Harymurti, diganti Wina Armada, anggota Dewan Pers yang lain. Ini bisa dimaklumi. Lha, Enda Nasution sebagai blogger diganti Roy Suryo jelas sebuah kesalahan, menurut saya.
Roy Suryo jelas bukan blogger. Nama ini bahkan menjadi semacam guyonan di kalangan blogger, aktivis dunia maya, ataupun praktisi teknologi informasi. Roy Suryo adalah pakar jadi-jadian yang dilahirkan oleh media. Atau katakanlah dia memang “pakar”. Tetap saja dia bukan blogger ataupun praktisi jurnalisme warga. Maka kalau dia hadir untuk menggantikan blogger, sekali lagi bagi saya, jauh panggang dari api.
Enda, biasa disebut Bapak Blogger oleh sesama blogger bukan Ketua Blogger Indonesia seperti ditulis panitia, diundang dalam kapasitas sebagai blogger. Kalau dia tidak bisa hadir, maka penggantinya akan lebih baik kalau juga blogger. Syukur-syukur malah dari pengelola junalisme warga.
Ya. Priyambodo juga blogger. Ini sesuatu yang kemudian baru saya tahu dalam diskusi. Tapi dalam diskusi ini, kapasitasnya adalah mewakili Antara dan LPDS, bukan blogger.
Lha ini tidak. Ketika blogger tidak bisa hadir, penggantinya malah orang yang selama ini dianggap sebagai “musuh bersama” para blogger. Salah satu alasan dia jadi nama yang identik dengan antipati adalah karena selama ini dia cenderung melihat blog dan kekuatan dunia maya lain sebagai ancaman daripada sebuah peluang. Sikapnya ini terlihat jelas dalam makalah tertulis yang dibagikan pada peserta diskusi setengah hari tersebut.
Roy Suryo sendiri datang pukul 12 lebih sementara diskusi dimulai dari pukul 9 dan berakhir pukul 1.30. Saya keluar dari diskusi, karena ada pekerjaan lain, persis ketika orang ini baru duduk di kursi pembicara. Jadi saya hanya menyimpulkan sikap tersebut dari makalah yang saya terima.
Makalah setebal 41 halaman ini lebih banyak menyoroti penyalahgunaan internet. Di lembar kedelapan misalnya dia mengutip www.clearcommerce.com bahwa Indonesia adalah negara kedua yang paling banyak menyalahgunakan internet setelah Ukraina.
Lalu di halaman-halaman berikut dia menyajikan fakta berbagai masalah di internet mulai tulisan “Satrio Kepencet” yang menuduh wartawan Kompas menerima dana dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), kasus “Rekayasa Foto” SBY, kasus hacking data Pemilu 2004 KPU, sampai pada gambar-gambar bugil dua bersaudara selebiritis seksi, Sarah Azhari dan Rahma Azhari. Saya tidak melihat relevansinya sama sekali dengan jurnalisme warga.
Pendapat saya ini kemudian dibenarkan Gus Tulank yang mengikuti diskusi sampai usai. “Dia menyampaikan hal yang jauh dari relevansi tema diskusi tentang jurnalisme warga,” kata Tulank.
Dek Didi, teman lain dari Bali Blogger Community (BBC) yang hadir pada diskusi itu pun menyatakan hal yang sama saat sesi diskusi. Bahwa apa yang disampaikan Roy Suryo dalam diskusi amat jauh relevansinya dengan jurnalisme warga. Roy Suryo terlalu melihat perkembangan dunia maya, baik blog, jejaring sosial, dan seterusnya sebagai sebuah ancaman.
Untungnya sikap berbeda justru disampaikan oleh dua pembicara lain, Priyambodo dan Wina Armada. Keduanya masih melihat bahwa jurnalisme warga adalah sebuah peluang. Ini senada dengan apa yang disampaikan Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal dalam sambutannya.
“Jurnalisme warga semakin lama semakin penting. Di banyak negara publik lebih percaya pada jurnalisme yang dikembangkan oleh warga, misalnya lewat blog, daripada media arus utama,” kata Ichlasul dalam sambutan pembukaan.
Pernyataan Ichlasul ini didukung juga Priyambodo. “Jika publik berkehendak, apa pun bisa terjadi di internet. Jurnalisme warga ikut menentukan demokratisasi,” katanya.
Namun, saya kemudian menangkap bahwa Ichlasul menyiratkan ketakutan pada ketakutan baru jurnalisme warga ini. “Jurnalisme warga ibarat pisau bermata dua. Dia bisa destruktif kalau pemberian informasinya tidak terkendali,” tambahnya.
Karena itulah, menurut Ichlasul, jurnalisme warga perlu diatur agar tidak tak terkendali dan liar. Namun Ichlasul tidak memberikan contoh sama sekali tentang bagaimana informasi liar dan tak terkendali itu bisa menjadi ancaman.
Toh, negara ini sepertinya memang melihat perkembangan kebebasan informasi terutama di dunia maya itu sebagai sebuah ancaman. Salah satu bukti adalah munculnya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang memberikan ancaman penjara bagi para pengguna teknologi informasi ini.
Menurut Wina Armada, materi UU ITE sangat keras karena ada ancaman penjara di atas lima tahun. Apalagi ada pasal yang mengatakan bahwa tersangka bisa langsung ditahan. Masuk penjara dulu baru diadili kemudian. “Benar atau salah itu urusan nanti. Yang penting ditahan dulu. Ini ancaman besar bagi blogger ataupun jurnalisme warga,” kata Wina.
Inilah kenyataannya. Aturan-aturan yang dibuat terkait dengan informasi di dunia maya itu justru menebar ketakutan bagi para penggunanya. Jadinya ironis. Lha wong belum apa-apa kok sudah ditakut-takuti dengan ancaman penjara. Suara-suara di dunia maya itu harusnya diberikan peluang sebagai sebuah kekuatan baru. Negara harus menjaminnya. Merawat dan mengembangkan, bukan dengan menebar ketakutan..

Cerita Warga yang Tak Biasa


Secara resmi, kami sudah menutup kelas pukul 4.30, Minggu (6/6) sore itu. Kami harus mengakhiri materi tentang blog itu 30 menit lebih awal dari jadwal. Tapi, bukannya bubar, hampir seluruh peserta malah minta kelas dilanjutkan.
Maka, hari terakhir Kelas Jurnalisme Warga di Sloka Institute, pun berlanjut. Aku, dengan senang hati, menemani sembilan peserta yang masih mau belajar tersebut bersama Eka Dirgantara dan Intan Paramitha.
Eka anggota Bali Blogger Community (BBC) yang jadi pemateri tentang blog sore itu. Intan bendahara Sloka sekaligus koordinator Kelas Menulis Jurnalisme Warga. Keduanya membantu peserta berlatih mengelola blog seperti memasukkan tulisan baru, mengubah tampilan sederhana, menautkan jaringan (link), dan lain-lain.
Para peserta itu duduk lesehan di ruangan sekitar 3×5 meter persegi asik dengan komputer jinjing di depannya.
Aku memfasilitasi kelas tersebut selama dua hari. Agak capek juga sih membantu pemateri, memberikan tugas pada peserta, sekaligus memandu alur kelas. Tapi, melihat peserta yang antusias, capek itu jadi tak terasa. Gairah para peserta mengalahkan lelah.
Kelas menulis kali ini adalah angkatan ketiga. Kami di Sloka memulainya sejak Januari tahun ini. Angkatan kedua diadakan dua bulan kemudian setelah kelas pertama, Maret.
Selain untuk terus membagi pengetahuan dan pengalaman jurnalisme, kami juga ingin makin banyak warga yang berbagi cerita. Kami yakin, tiap warga tak hanya punya cerita yang layak dibaca orang lain. Mereka juga punya kemampuan untuk menuliskannya.
Selama tiga kali kelas, kami masih mencoba-coba. Kami belum menemukan jadwal, alur, maupun metode yang tepat untuk kelas menulis ini. Tiga kali itu pula kami mencoba jadwal, pemateri, dan metode yang berbeda. Dan, menurutku, dari sisi pelaksanaan, angkatan ketiga ini lebih baik dari dua angkatan sebelumnya. Tentu saja masih dengan sejumlah catatan yang perlu diperbaiki.
Pada kelas kali ini, ada sebelas peserta. Latar belakang mereka tak seberagam dua angkatan sebelumnya. Kali ini dominan pelajar dan mahasiswa. Untung masih ada satu ibu paruh baya, Indah Juanita. Jadi, masih ada suasana berbeda.
By the way, adanya Indah Juanita ini meneruskan “tradisi” hadirnya satu peserta “ibu-ibu” di dua angkatan sebelumnya: Ivy Sudjana di angkatan pertama dan Lia Johan di angkatan kedua. Adanya “ibu-ibu”, menurutku, menjadi penengah agar kelas lebih terlihat bijaksana, tidak berangasan ala anak-anak muda. Hehehe..
Dua angkatan sebelumnya ada ibu rumah tangga, mantan guru, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), pelajar, dan mahasiswa. Kelasnya diadakan empat hari dalam dua minggu tiap akhir pekan dengan pertemuan sekitar lima jam per hari. Kali ini, kami mengadakannya dua hari penuh dari pagi hingga petang.
Kami juga mengubah suasana kelas. Kalau sebelumnya dalam kelas dengan meja kursi agak formal, maka kali ini semuanya lesehan duduk beralas tikar bambu. Ada meja kecil di tengah untuk tempat menulis. Peserta bisa menyandar senyamannya di dinding ruangan. Suasana jadi lebih nyantai.
Toh, materi dan tugasnya tetap sama. Peserta belajar dua hal utama: dasar-dasar jurnalistik dan mengelola blog.
Untuk praktik liputan, kami memilih dua tema besar sebagai rencana liputan, yaitu pertanian perkotaan dan fasilitas publik di Denpasar. Dua tema besar ini hanya sebagai acuan. Tiap peserta dipersilakan memilih tema lain selama bisa memberikan alasan.
Dan, ternyata, mereka bisa menggali cerita dan menuliskkannya dengan keren. Yudha Surya Pradipta, siswa SMA 7 Denpasar, menulis cerita tentang Nyoman Subri, ibu buta huruf pemilik warung sederhana di daerah Tonja, Denpasar Timur yang menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana. Yudha menuliskannya dengan mengalir dan lumayan detail.
Peserta lainnya, Mei Rismawati, yang baru lulus SMP dan kini bersiap masuk SMK, menulis tentang Made Sudi, perempuan pedagang canang (semacam sesajian di Bali) yang harus menghidupi keluarga karena suaminya tak bekerja. Risma, yang baru pertama kali belajar jurnalisme menulis cerita ini dalam sekitar 400 kata.
Tak hanya menulis, Risma juga dengan jelas menunjukkan empatinya pada Sudi.
“Nasib baik tidak berpihak pada Made Sudi. Ia adalah seorang pedagang canang yang aku temui di perempatan jalan Noja tadi pagi. Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan canang,” tulis Risma di paragraf pertama tulisannya.
Ada delapan cerita lain yang kurang lebih sama temanya. Mereka menulis cerita tentang warga “biasa” dengan cerita yang tak biasa. Para peserta kelas menulis warga menuliskan hal-hal sederhana di sekitar mereka: trotoar, pemulung, pedagang canang, pemilik warung, habisnya lahan pertanian.
Para warga itu menguatkan keyakinan kami. Warga tak hanya punya cerita menarik, mereka juga bisa menuliskannya..

CELANA DALAM DIANGGARKAN NEGARA

“Sekalian aja celana dalamnya dianggarkan negara,” kata pacarku sinis pagi ini.
Komentar itu muncul begitu saja ketika kami membaca di koran bahwa anggota DPR minta laptop. Menurut koran pagi itu 550 anggota DPR masing-masing minta diberi laptop. Tiap satu laptop seharga Rp 22 juta. Total habis duit Rp 13,9 miliar. -Aku tidak ngitung sendiri apakah Rp 22 juta x 550 itu memang senilai Rp 13,9 miliar. Soale belum ngitung udah nek duluan. Pengen muntah. :) )-
Dulu aku ikut milih pas Pemilu 2004. Jadi ya mereka juga wakilku dong meski aku ga tau pilihanku jadi anggoa DPR apa tidak. Alasanku waktu itu sederhana: diam toh tidak menjawab masalah negara ini. Tiap pilihan punya konsekuensi, termasuk gagal. Namun harapan itu jauh panggang dari api. Makin hari makin banyak hal yang gak beres dengan DPR kita.
Paling gres ya soal laptop itu. Ini usul yang bener-bener ngawur. Alasan mereka minta laptop untuk meningkatkan kinerja. Alamak. Dari mana logika itu. Bener-bener sableng!
Pertama, laptop hanya pemborosan. Saat ini di ruangan kerja tiap anggota DPR yang tidak mulia itu sudah ada komputer pribadi. Itu pun aku yakin tidak sepenuhnya dipake mereka. Gimana mau make, orang mereka lebih sering bolos dari pada masuk kantor.
Kedua, biaya pembelian laptop dibebankan pada negara. Ini lebih aneh lagi. Gaji mereka kan rata-rata di atas Rp 10 juta per bulan. Masa sih laptop saja harus dibeliin negara. Kalau memang mereka mikir kan seharusnya sebagian pendapatan itu disisihkan untuk mendukung kerja mereka. Bukan hanya mentang-mentang ada yang bisa membiayai lalu semuanya disuruh membiayai orang lain.
Ketiga, masa biaya pembelian laptop sampe Rp 22 juta per biji. Ini paling ngawur. Jelas-jelas aku baca di koran dengan duit Rp 5 juta aja udah dapet. Ya lima juta mungkin terlalu murah. Okelah. Cari yang seharga dua kali lipat dari itu: sepuluh juta. Aku baca iklan di koran ada laptop harga Rp 8,9 juta. Dengan harga segitu udah dapat merk HP dengan speisifikasi prosesor AMD turion, hard disk 120 GB, RAM 512, bluetooth, 5 in card reader, DVD combo, dst. Lalu kenapa sampai minta per laptop Rp 22 juta. Spek segitu jelas lebih dari cukup. Muntah-muntah malah. :) ) Lalu mau beli laptop yg kayak apa dengan harga Rp 22 juta. Emang mau dipake nyimpen film bokep mereka kayak Yahya Zaini dan Maria Eva kemarin?
Karena logika anggota DPR yg gak beres itu, maka aku juga mikir dengan logika ngawur juga. Jangan-jangan mereka minta laptop hanya karena ngiri pada Tukul. Soalnya meski ga bisa make, Tukul bisa jadi tokoh yg populer dan identik karena laptopnya. Mungkin anggota DPR malu. Kalau Tukul –yang dianggap ndeso, dan dia dengan pintar memanfaatkan anggapan orang bahwa dia ndeso itu- saja bisa pakai laptop, masak anggota DPR tidak. Biar gak kalah keren, maka para anggota DPR itu kembali ke… LAPTOP!

HARGA BBM BERSUBSIDI DIUNDUR SAMPAI BULAN JULI 2013?

-judulnya maksa ya?-
Topik paling rame dibicarakan hari-hari ini adalah soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Demo di berbagai tempat kembali marak. Isunya menentang kenaikan harga BBM. Argumentasinya sih karena kenaikan harga BBM akan semakin menyengsarakan rakyat miskin. Trus di koran, TV, majalah, dan media lain juga ribut2 soal kenaikan BBM ini.
Selain kenaikan BBM, ada pula efek samping yang kini asik jadi bahan diskusi. Paling gres sih soal iklan Freedom Institute di (yang aku tau sih hanya) Kompas (Sabtu, 26/2) lalu. Dalam iklan berwarna satu halaman penuh, harganya mungkin ratusan juta, itu Freedom Institute menyatakan beberapa alasan kenapa mereka mendukung kenaikan BBM. Freedom Institute ini didanai Aburizal Bakrie, salah satu menteri pemerintahan saat ini. Beberapa orang di dalamnya adalah Andi Mallarangeng dan Dino Pati Jalal, keduanya juru bicara presiden. Selain itu ada pula beberapa intelek seperti Goenawan Muhamad, Ulil Absar, Frans-Magnins Suseno, dst..
Salah satu alasan yang disampaikan Freedom Institute adalah bahwa selama ini harga minyak di Indonesia terlalu murah dibanding harga di pasar dunia. Aku gak inget persis. Karena selisih ini, pemerintah Indonesia harus mensubsidi sekitar Rp 200 milyar per hari. “Bayangkan berapa banyak rumah sakit atau sekolah yang bisa kita bangun dengan uang segitu,” kurang lebih gitulah iklan mereka.
Di Kompas, perdebatan soal ini sangat seru. Ada yang menuding kelompok intelektual itu sudah melacurkan diri. Meminjam istilahnya Gramsci sudah jadi intelektual organik-nya penguasa. Ada pula yang menuduh pengkhianat. Dst. Selain menuduh soal “perselingkuhan” intelek dengan penguasa, juga ada yang bilang iklan itu seperti komunikasi yang tidak cerdas. Kompas hari ini aku belum baca. Tapi mungkin perdebatan soal itu masih rame.
Waduh, aku jadi nglantur. Padahal cuma mau posting pikiranku soal kenaikan BBM. Soalnya gak asik juga kalau aku gak ikut mikir soal itu. Meski, ya cuma mikir, -dan malu2 posting di blog-. Ya, pengalaman personal aja. Tidak usah dibawa-bawa ke teori segala macam. Anggap saja ini mikirnya Patrick, si bloon di kartun SpongeBob.
Soal harga BBM yang naik, sampe sekarang aku belum terpengaruh. Nasi campur langgananku di Warung Jember Bu Nur masih tiga ribu perak per porsi. Seperti biasa aku masih tambah krupuk satu bungkus dan sekali-kali tambah gorengan. Total jendral empat ribu perak. Aku biasa menjatah sepuluh ribu per hari untuk makan. So, untuk soal ini aku belum terpengaruh.
Pengaruh yang -seharusnya- terasa sih harga bensin yang jadi Rp 2400 per liter dari semula Rp 1850. Tapi ini juga gak kerasa-kerasa amat. Aku tanya beberapa teman, dengan pendapatan yang mungkin tidak berbeda, juga mereka bilang gak terlalu ngaruh. Dengan alasan inilah aku pikir kenaikan BBM dengan alasan untuk pengalihan subsidi ke pendidikan dan kesehatan boleh saja.
Aku inget di kampung, di pesisir utara Jawa Timur. Setahuku di sana juga orang jarang yang pake BBM. Soalnya jarang yang punya motor, apalagi mobil. Mereka mungkin hanya beli minyak tanah untuk masak. But, setahuku harga minyak tanah untuk konsumsi rumah tangga tidak dinaikkan seperti yang lain. Harganya tetep 700 perak per liter. Minyak tanah pun hanya dipakai kadang-kadang. Mereka lebih sering pake kayu bakar. Lebih hemat dan lebih enak.
Masalahnya, justru orang-orang di kampungku jarang yang nerusin sekolah setelah SD, SMP, atau SMU. Aku sih beruntung karena bisa kuliah meski jungkir balik juga karena biaya sendiri. Alasan mereka tidak nglanjutin sekolah karena biayanya mahal. Nah, kalau subsidi itu dialihkan untuk biaya pendidikan, semoga saja semakin banyak orang di kampungku yang bisa sekolah lebih tinggi.
Kampungku hanya satu contoh. Kalau gak salah, sampe sekarang prosentase desa dan kota di Indonesia tetap banyak desa tuh. Artinya kondisi yang sama juga masih banyak terjadi di Indonesia, terutama di luar Jawa.
Selain biaya sekolah yang murah, semoga saja gaji guru juga dinaikin. Biar kakak-kakakku yang jadi guru bisa bertambah pendapatannya. Juga guru-guru yang lain.
Kalau subsidi itu bisa terwujud, waduh, aku sih dengan senang hati dan ikhlas nerima kenaikan harga BBM.
Masalahnya, bagaimana pengawasan agar subsidi itu memang terjadi?

terkadang hidup tak adil

Dipikir-pikir memang terasa amat kontradiksinya.
Aku yang “cuma” bawa sepeda motor Honda Legenda keluaran 10 tahun silam mengisi bahan bakar minyak (BBM) Pertamax. Sementara itu, di sampingku yang bermobil Innova mengilap justru mengisi mobilnya dengan bensin.
Kontradiktif sekali karena justru bensin itulah yang disubsidi negara. Per tahunnya, menurut pemerintah, besarnya subsidi untuk bensin dan solar ini mencapai Rp 191,1 triliun. Ironisnya, penikmat subsidi ini justru orang-orang kaya semacam pemilik Innova itu tadi.
Mereka bisa membeli mobil seharga ratusan juta. Tapi, untuk BBM-nya masih terima subsidi negara. Tak tahu malu.
Memang tak gampang. Tapi, aku sudah putuskan. Sebisa mungkin menghindari pemakaian bensin. Sederhana saja. Aku merasa bisa memenuhi kebutuhan BBM tanpa harus menyusu pada Negara.
Keputusanku ini politis. Terserah orang lain bilang apa.
Keputusan itu muncul setelah riuh rendah rencana kenaikan BBM akhir Maret silam. Setelah baca-baca lagi, aku kemudian baru sadar bahwa selama ini aku telah menggunakan BBM yang disubsidi Negara. Aku pakai bensin. Padahal, ada Pertamax yang tidak disubsidi sama sekali.
Karena merasa bisa memenuhi kebutuhan sendiri dan tak mau tergantung pada subsidi dari Negara, maka aku pilih Pertamax sejak itu. Dulunya yang aku tahu, orang memakai Pertamax cuma karena pertimbangan kualitas lebih baik dibanding bensin apalagi solar. Kini baru tahu soal hitung-hitungan di baliknya.
Bukan berarti kemudian aku mendukung rencana kenaikan harga BBM. Menurutku tak usah dinaikkan. Dampaknya panjang. Kenaikan harga BBM akan menimbulkan efek domino. Tak cuma soal BBM itu sendiri tapi juga ke harga pangan dan seterusnya.
Ah, aku buta soal hitung-hitungan ini. Berita ekonomi di koran selalu jadi berita yang tak aku baca. Meski sudah baca dengan serius juga tetap tak mengerti.
Aku cuma merasa bahwa sebaiknya tak usah lagi menggunakan BBM yang disubsidi. Logika goblok saja sih. Ketika makin sedikit memakai BBM subsidi, maka makin sedikit duit negara untuk mensubsidi BBM. Subsidi kemudian bisa digunakan untuk kepentingan lain, bukan untuk orang yang sudah bisa beli sepeda motor dan mobil.
Maka, daripada hanya ngedumel dan nyalahin orang lain, mending aku mulai dari diri sendiri deh. Tak mau aku lagi pakai bensin.
Dan, ini bukan perkara mudah. Apalagi ketika melihat orang-orang dengan kendaraan jauh lebih mewah mengisi tangki kendaraan mereka dengan bensin. Tiap kali aku isi Pertamax, pasti ada saja lihat orang-orang semacam ini.
Pas di pom bensin di Gatsu Tengah aku lihat orang bawa Innova isi bensin. Pas di pom bensin Renon lihat orang naik Kawasaki Ninja isi bensin juga. Pas di pom bensin Tukad Pakerisan juga lihat mobil plat merah isi bensin.
Maka, seharusnya, kampanye pemakaian BBM non-subsidi ini perlu lebih diintensifkan. Ajak orang-orang berkendaraan mewah ini untuk pakai BBM non-subsidi. Malu dong. Bisa beli mobil ratusan juta masak masih nyusu pada Negara.

Pacaran Beda Agama

Pacaran Beda Agama

Pacaran Beda Agama
Pacaran beda agama atau keyakinan … ?
Pada masa ini banyak kita jumpai pasangan muda-mudi yang berpacaran walaupun mereka memiliki keyakinan yang berbeda. Cinta … dan cinta … itulah magic word bagi pasangan yang sedang kasmaran dan merupakan kekuatan besar yang dapat meniadakan segala macam perbedaan termasuk perbedaan agama.

Tetapi benarkah demikian …?



Berbagai persoalan mulai bermunculan ketika status pacaran tersebut akan ditingkatkan ke tahap yang lebih serius, mulai dari pihak mana yang harus “mengalah”, biasanya baik pria maupun wanita saling bersikukuh dengan keyakinannya dan saling mengajak pasangannya untuk “ikut” keyakinannya, kalaupun ada yang “mengalah” dan bersedia mengikuti pacarnya, biasanya orang tua yang menolak bahkan tidak jarang para orang tua sekuat mungkin memisahkan mereka. Ada yang tetap nekat jalan terus, tapi ada juga yang langsung bubar …!

Sebut saja pengalaman Dewa dan Dewi lima tahun mereka pacaran, namun pada saat meningkat ke tahap yang lebih serius, orang tua mereka tidak setuju, akhirnya walau sangat pahit hubungan mereka terpaksa bubar !!! lain lagi dengan Hana tiga tahun membina hubungan dengan Joko, namun pada saat mulai menginjak tahap mempermanenkan hubungan mereka dengan membangun rumah tangga, orang tua mereka tidak setuju, walau hubungan mereka tidak sampai bubar, namun Hana dan Joko menjalani hubungan pacaran ini dengan perasaan bingung dan khawatir akan kelanjutan kisah asmara mereka.

Pernikahan memang bukan hanya sekedar perwujudan perasaan cinta antara pria dan wanita tapi lebih dari itu dibutuhkan suatu kesediaan untuk tidak hanya mengedepankan perasaan dan kepentingan diri sendiri serta keyakinan yang dianutnya tetapi juga harus peka terhadap perasaan dan kepentingan serta keyakinan yang dianut pasangannya.

Menjadi persoalan ketika perasaan dan kepentingan ataupun keyakinannya berbeda, pada saat itulah berbagai masalah akan menghadang, karenanya dibutuhkan kesadaran dan kesediaan dari setiap pasangan untuk menyatukan visi sehingga berbagai perbedaan tersebut dapat diatasi.

Cara Membuat Tulisan Mengikuti Kursor

Membuat Tulisan Mengikuti Cursor

Cara Membuat Tulisan Mengikuti Cursor
Gb. Demo Tulisan Berputar

Sudah pernah lihat tulisan yang berputar-putar mengelilingi Cursor dan selalu mengikuti Cursor di blog blogger?

Tadi saya baru saja berkunjung ke salah satu blog teman yang menulis pesan di buku tamu, di sana saya melihat sebuah tulisan yang berputar-putar mengelilingi Cursor dan selalu mengikuti kemanapun arah cursor tersebut.

Setelah melihat itu saya jadi ingin untuk menuliskan caranya, siapa tahu ada yang ingin  menghias blog nya dengan tulisan berputar mengelilingi cursor blognya.

Panduan Cara Membuat Animasi Tulisan Berpuatar Mengelilingi Cursor

  1. Login ke dashboard blogger
  2. Klik Tata Letak
  3. Cara Membuat Tulisan Mengikuti Cursor
  4. Setelah itu klik Tambah Gadget
  5. Gadget Tulisan Mengikuti Cursor
  6. Pilih Gadget / Widget HTML/JavaScript
  7. Script Tulisan Mengikuti Cursor
  8. Klik Edit HTML
  9. Tutorial Panduan Membuat Tulisan Mengikuti Cursor
Kemudian masukkan semua script / kode tulisan mengikuti cursor berikut pada widget tadi.
<style type='text/css'>
/* Circle Text Styles */
#outerCircleText {
/* Optional - DO NOT SET FONT-SIZE HERE, SET IT IN THE SCRIPT */
font-style: italic;
font-weight: bold;
font-family: 'comic sans ms', verdana, arial;
color: #999;

/* End Optional */
/* Start Required - Do Not Edit */
position: absolute;top: 0;left: 0;z-index: 3000;cursor: default;}
#outerCircleText div {position: relative;}
#outerCircleText div div {position: absolute;top: 0;left: 0;text-align: center;}
/* End Required */
/* End Circle Text Styles */
</style>
<script type='text/javascript'>
//<![CDATA[
/* Circling text trail- Tim Tilton
Website: http://www.tempermedia.com/
Visit: http://www.dynamicdrive.com/ for Original Source and tons of scripts
Modified Here for more flexibility and modern browser support
Modifications as first seen in http://www.dynamicdrive.com/forums/
username:jscheuer1 - This notice must remain for legal use
*/
;(function(){
// Your message here (QUOTED STRING)
var msg = "A.R Blog (Blogger Tutorial)";
/* THE REST OF THE EDITABLE VALUES BELOW ARE ALL UNQUOTED NUMBERS */
// Set font's style size for calculating dimensions
// Set to number of desired pixels font size (decimal and negative numbers not allowed)
var size = 24;
// Set both to 1 for plain circle, set one of them to 2 for oval
// Other numbers & decimals can have interesting effects, keep these low (0 to 3)
var circleY = 0.75; var circleX = 2;
// The larger this divisor, the smaller the spaces between letters
// (decimals allowed, not negative numbers)
var letter_spacing = 5;
// The larger this multiplier, the bigger the circle/oval
// (decimals allowed, not negative numbers, some rounding is applied)
var diameter = 10;
// Rotation speed, set it negative if you want it to spin clockwise (decimals allowed)
var rotation = 0.4;
// This is not the rotation speed, its the reaction speed, keep low!
// Set this to 1 or a decimal less than one (decimals allowed, not negative numbers)
var speed = 0.3;
////////////////////// Stop Editing //////////////////////
if (!window.addEventListener && !window.attachEvent || !document.createElement) return;
msg = msg.split('');
var n = msg.length - 1, a = Math.round(size * diameter * 0.208333), currStep = 20,
ymouse = a * circleY + 20, xmouse = a * circleX + 20, y = [], x = [], Y = [], X = [],
o = document.createElement('div'), oi = document.createElement('div'),
b = document.compatMode && document.compatMode != "BackCompat"? document.documentElement : document.body,
mouse = function(e){
e = e || window.event;
ymouse = !isNaN(e.pageY)? e.pageY : e.clientY; // y-position
xmouse = !isNaN(e.pageX)? e.pageX : e.clientX; // x-position
},
makecircle = function(){ // rotation/positioning
if(init.nopy){
o.style.top = (b || document.body).scrollTop + 'px';
o.style.left = (b || document.body).scrollLeft + 'px';
};
currStep -= rotation;
for (var d, i = n; i > -1; --i){ // makes the circle
d = document.getElementById('iemsg' + i).style;
d.top = Math.round(y[i] + a * Math.sin((currStep + i) / letter_spacing) * circleY - 15) + 'px';
d.left = Math.round(x[i] + a * Math.cos((currStep + i) / letter_spacing) * circleX) + 'px';
};
},
drag = function(){ // makes the resistance
y[0] = Y[0] += (ymouse - Y[0]) * speed;
x[0] = X[0] += (xmouse - 20 - X[0]) * speed;
for (var i = n; i > 0; --i){
y[i] = Y[i] += (y[i-1] - Y[i]) * speed;
x[i] = X[i] += (x[i-1] - X[i]) * speed;
};
makecircle();
},
init = function(){ // appends message divs, & sets initial values for positioning arrays
if(!isNaN(window.pageYOffset)){
ymouse += window.pageYOffset;
xmouse += window.pageXOffset;
} else init.nopy = true;
for (var d, i = n; i > -1; --i){
d = document.createElement('div'); d.id = 'iemsg' + i;
d.style.height = d.style.width = a + 'px';
d.appendChild(document.createTextNode(msg[i]));
oi.appendChild(d); y[i] = x[i] = Y[i] = X[i] = 0;
};
o.appendChild(oi); document.body.appendChild(o);
setInterval(drag, 25);
},
ascroll = function(){
ymouse += window.pageYOffset;
xmouse += window.pageXOffset;
window.removeEventListener('scroll', ascroll, false);
};
o.id = 'outerCircleText'; o.style.fontSize = size + 'px';
if (window.addEventListener){
window.addEventListener('load', init, false);
document.addEventListener('mouseover', mouse, false);
document.addEventListener('mousemove', mouse, false);
if (/Apple/.test(navigator.vendor))
window.addEventListener('scroll', ascroll, false);
}
else if (window.attachEvent){
window.attachEvent('onload', init);
document.attachEvent('onmousemove', mouse);
};
})();
//]]>
</script>
Keterangan :
// Your message here (QUOTED STRING)
var msg = "A.R Blog (Blogger Tutorial)";

silakah ganti tulisan A.R Blog (Blogger Tutorial) dengan tulisan yang anda inginkan, karena tulisan itulah yang nantinya akan berputar-putar mengeliligi cursor.

Bagaimana cara merubah warna tulisan yang mengikuti cursor tersebut ?

Karena ada beberapa teman kita yang menanyakan hal tersebut maka akan saya tuliskan caranya.

Silakan lihat pada bagian atas kode script tulisan mengikuti cursor tersebut, maka kamu akan menemukan kode
color: #999;
Silakan ganti #999 dengan kode warna lainnya yang kamu suka (ingat hanya kode #999  yang diganti). silakan temukan kode warna yang kamu suka di Daftar Kode Warna

Cara Mudah Menghitung Kuadrat/Pangkat Dua

Perkalian itu mengasyikan

Kebanyakan kita hanya hafal perkalian bilangan dengan 1 digit (dibawah angka 10), misalnya 2 x 3, 4 x 6 , 9 x 8 akan tetapi sedikit orang yang hafal perkalian bilangan sampai dengan 2 digit. Ada cara menyenangkan untuk menghitung perkalian bilangan diatas 1 digit.


Misalnya berapakah hasil dari 13 x 12 ?

1 3
1 2
---- x


  • Untuk memperoleh angka terakhir jawaban kalikan 2 angka di kanan yaitu 3 x 2 = 6
  • Untuk memperoleh angka tengah jawaban kalikan secara silang angka-angka tersebut kemudian hasilnya dijumlahkan, 1 x 2 + 3 x 1 = 5
  • Untuk memperoleh angka pertama jawaban, kalikan kedua angka dikiri 1 x 1 = 1,
Maka 13 x 12 = 156

Atau berapakah 27 x 21 ?
  • Untuk memperoleh angka terakhir jawaban kalikan 2 angka di kanan yaitu 7 x 1 = 7
  • Untuk memperoleh angka tengah jawaban kalikan secara silang angka-angka tersebut kemudian hasilnya dijumlahkan, 2 x 1 + 7 x 2 = 2 + 14 = 16 (diperoleh 6 dan angka 1 disimpan)
  • Untuk memperoleh angka pertama jawaban, kalikan kedua angka dikir 2 x 2 = 4, selanjutnya jumlahkan dengan dengan angka yang disimpan , 4 + 1 = 5
Maka 27 x 21 adalah 567

Perkalian bilangan yang mendekati angka 100

Berapakah hasil perkalian 98 x 97 ? , 92 x 94 ? atau 91 x 96 ? tentu kita akan dapat menjawabnya terlebih bila menggunakan kalkulator/mesin penghitung pasti akan diperoleh jawaban yang benar dalam waktu singkat. Tetapi ada cara mudah dan menyenangkan untuk menyelesaikannya.

Misalnya kita akan menghitung perkalian 98 x 97

Perkalian itu menyenangkan, Matematika

pertama kita hitung selisih/perbedaan kedua bilangan tersebut (98 dan 97) dengan 100.
Perbedaan antara 98 dengan 100 adalah 2
Perbedaan antara 97 dengan 100 adalah 3
Selanjutnya lakukan pengurangan secara diagonal 98 - 3 atau 97 - 2 (pengurangan diagonal manapun yang dipilih hasilnya akan sama) adalah 95 menjadi dua angka pertama jawaban.
Kemudian kalikan hasil perbedaan antara bilangan asli dengan 100 yaitu 2 x 3 = 6 menjadi jawaban 2 angka terakhir 06
Maka 98 x 97 adalah 9506

Hasil perhitungan 92 x 94 adalah ….

Perkalian itu menyenangkan, Matematika

Perbedaan antara 92 dengan 100 adalah 8
Perbedaan antara 94 dengan 100 adalah 6
Pengurangan diagonal 92 - 6 atau 94 - 8 = 86 sebagai 2 angka pertama jawaban
Perkalian hasil perbedaan antara bilangan asli dengan 100, yaitu 8 x 6 = 48 sebagai 2 angka terakhir jawaban.
Maka 92 x 94 = 8648

Bila perkalian bilangannya diatas 100, misalnya 105 x 107 atau 102 x 104 cara menyelesaikannya sama yang membedakan bila perkalian pada angka mendekati 100 dilakukan pengurangan diagonal, maka pada perkalian bilangan diatas 100 dilakukan penjumlahan diagonal sebagai pengganti pengurangan diagonal.

Misalnya berapakah 105 x 107 ?

Perbedaan antara 105 dengan 100 adalah 5
Perbedaan antara 107 dengan 100 adalah 7
Penjumlahan diagonal 105 + 7 atau 107 + 5 = 112 sebagai angka pertama jawaban
Perkalian hasil selisih/perbedaan antara bilangan asli dengan 100, yaitu 5 x 7 = 35 sebagai angka terakhir jawaban.
Maka diperoleh hasil 105 x 107 adalah 11.235.

Bukankah perkalian itu menyenangkan ….

 

Setelah sebelumnya kita mengenal perkalian, maka kali ini kita mencoba mengenal pengkuadratan atau pangkat dua. Kuadrat merupakan perkalian suatu bilangan dengan bilangan itu sendiri. Misalnya 3 x 3 = 9 adalah kuadrat dari 3 dan biasanya ditulis dalam bentuk 3^2 = 9.

Bila kita hafal perkalian bilangan dibawah 11, maka akan dengan mudah kita menyelesaikan pengkuadratan bilangan dibawah 11. sedangkan untuk bilangan diatas 11 tentulah lebih sulit mengerjakannya. Ada beberapa cara yang relatif lebih mudah untuk menyelesaikannya.

Cara praktis Memperindah Tampilan Facebook

Memperindah tampilan facebookmu dengan cara merubah fotosampul di facebookmu bisa kamu lakukan dengan bantuan CoverCanvas, CoverCanvas menawarkan cara yang simple agar fotosampul facebook kita terlihat keren dan indah.  
Bagaimana cara menggunakan CoverCanvas untuk memperindah tampilan facebook kita ?? Caranya simple, yang anda gunakan hanyalah menekan tombol " Get Started " dan mengikuti langkah-langkah yang diberikan, dan pastikan facebook anda sedang online. Dan anda bebas berkreasi sesuai dengan keinginan anda membuat foto sampul facebook anda sekeren mungkin dan seindah mungkin.