Membaca tulisan CNN Indonesia: Twitter nation, menyadarkan lagi pada kegagalan Tifatul Sembiring untuk berkomunikasi.
Dibanding mengutip komentar dari menteri yang mengurusi komunikasi dan teknologi informasi, CNN lebih memilih Enda Nasution untuk berkomentar. Makna di baliknya, untuk urusan teknologi informasi, media asing lebih percaya pada Enda daripada Tifatul.
Sebaliknya, Tifatul malah terlihat sebagai pejabat yang malu-maluin: ngotot mengaku tak mau salaman dengan Michelle Obama meski videonya memperlihatkan betapa semangatnya dia menjabat tangan Michelle. Akibatnya, kelakuan itu malah jadi celaan di banyak media internasional. Termasuk kali ini di CNN.
Inilah anehnya menteri satu ini. Sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi, Tifatul harusnya bisa memberikan contoh berkomunikasi yang baik. Tapi, dia gagal.
Contoh paling mutakhir, ya, dari kasus pengingkaran salaman dengan Michelle Obama itu. Dia sepertinya lupa bahwa komunikasi di mana tiap orang mempunyai posisi sama seperti di jejaring sosial (social media) ini tak lagi hanya searah. Dia tak bisa mendiktekan begitu saja apa yang dia anggap benar itu pada para pengikutnya di Twitter ataupun jejaring sosial lain.
Lebih parah lagi kalau di kalangan pengguna jejaring sosial. Menteri yang seharusnya bisa mengajak para pengguna jejaring sosial untuk duduk bersama ini malah seperti jadi musuh tiap orang. Kicauannya di Twitter hampir selalu ditanggapi sinis oleh banyak pengguna Twitter lainnya.
Alasannya, antara lain lebih seringnya dia berpantun dan berkhotbah daripada memberikan informasi tentang program, kegiatan, atau perkembangan di departemennya. Dia jelas gagal menggunakan jejaring sosial ini untuk kepentingan berkomunikasi.
Dia tak bisa hanya ngomong dan selesai lalu semua orang manggut-manggut hanya diam meski tak setuju dengan apa yang dia sampaikan. Ini zaman komunikasi tak lagi searah tapi dari banyak arah. Kalau dulu orang cuma bisa diam dalam hati meski tak sepakat, kini tiap orang bisa menilainya sekaligus menyebarluaskannya.
Sebaliknya, dengan jejaring sosial, media arus utama pun bisa dengan mudah menemukan siap orang-orang yang lebih bernilai berita ini dibanding orang-orang yang ngomong hanya karena jabatannya, bukan kapasitasnya. Makanya, dibanding mengutip omongan Tifatul, yang menjadikan internet sebagai ancaman dibanding peluang, media arus utama lebih senang wawancara Enda, salah satu blogger terkemuka di Indonesia.
Jejaring sosial punya aturan tersendiri. Kami lebih percaya pada teman-teman kami sendiri daripada pada menteri.
Dibanding mengutip komentar dari menteri yang mengurusi komunikasi dan teknologi informasi, CNN lebih memilih Enda Nasution untuk berkomentar. Makna di baliknya, untuk urusan teknologi informasi, media asing lebih percaya pada Enda daripada Tifatul.
Sebaliknya, Tifatul malah terlihat sebagai pejabat yang malu-maluin: ngotot mengaku tak mau salaman dengan Michelle Obama meski videonya memperlihatkan betapa semangatnya dia menjabat tangan Michelle. Akibatnya, kelakuan itu malah jadi celaan di banyak media internasional. Termasuk kali ini di CNN.
Inilah anehnya menteri satu ini. Sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi, Tifatul harusnya bisa memberikan contoh berkomunikasi yang baik. Tapi, dia gagal.
Contoh paling mutakhir, ya, dari kasus pengingkaran salaman dengan Michelle Obama itu. Dia sepertinya lupa bahwa komunikasi di mana tiap orang mempunyai posisi sama seperti di jejaring sosial (social media) ini tak lagi hanya searah. Dia tak bisa mendiktekan begitu saja apa yang dia anggap benar itu pada para pengikutnya di Twitter ataupun jejaring sosial lain.
Lebih parah lagi kalau di kalangan pengguna jejaring sosial. Menteri yang seharusnya bisa mengajak para pengguna jejaring sosial untuk duduk bersama ini malah seperti jadi musuh tiap orang. Kicauannya di Twitter hampir selalu ditanggapi sinis oleh banyak pengguna Twitter lainnya.
Alasannya, antara lain lebih seringnya dia berpantun dan berkhotbah daripada memberikan informasi tentang program, kegiatan, atau perkembangan di departemennya. Dia jelas gagal menggunakan jejaring sosial ini untuk kepentingan berkomunikasi.
Dia tak bisa hanya ngomong dan selesai lalu semua orang manggut-manggut hanya diam meski tak setuju dengan apa yang dia sampaikan. Ini zaman komunikasi tak lagi searah tapi dari banyak arah. Kalau dulu orang cuma bisa diam dalam hati meski tak sepakat, kini tiap orang bisa menilainya sekaligus menyebarluaskannya.
Sebaliknya, dengan jejaring sosial, media arus utama pun bisa dengan mudah menemukan siap orang-orang yang lebih bernilai berita ini dibanding orang-orang yang ngomong hanya karena jabatannya, bukan kapasitasnya. Makanya, dibanding mengutip omongan Tifatul, yang menjadikan internet sebagai ancaman dibanding peluang, media arus utama lebih senang wawancara Enda, salah satu blogger terkemuka di Indonesia.
Jejaring sosial punya aturan tersendiri. Kami lebih percaya pada teman-teman kami sendiri daripada pada menteri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar