Total Tayangan Halaman

Minggu, Juni 17

Cerita Warga yang Tak Biasa


Secara resmi, kami sudah menutup kelas pukul 4.30, Minggu (6/6) sore itu. Kami harus mengakhiri materi tentang blog itu 30 menit lebih awal dari jadwal. Tapi, bukannya bubar, hampir seluruh peserta malah minta kelas dilanjutkan.
Maka, hari terakhir Kelas Jurnalisme Warga di Sloka Institute, pun berlanjut. Aku, dengan senang hati, menemani sembilan peserta yang masih mau belajar tersebut bersama Eka Dirgantara dan Intan Paramitha.
Eka anggota Bali Blogger Community (BBC) yang jadi pemateri tentang blog sore itu. Intan bendahara Sloka sekaligus koordinator Kelas Menulis Jurnalisme Warga. Keduanya membantu peserta berlatih mengelola blog seperti memasukkan tulisan baru, mengubah tampilan sederhana, menautkan jaringan (link), dan lain-lain.
Para peserta itu duduk lesehan di ruangan sekitar 3×5 meter persegi asik dengan komputer jinjing di depannya.
Aku memfasilitasi kelas tersebut selama dua hari. Agak capek juga sih membantu pemateri, memberikan tugas pada peserta, sekaligus memandu alur kelas. Tapi, melihat peserta yang antusias, capek itu jadi tak terasa. Gairah para peserta mengalahkan lelah.
Kelas menulis kali ini adalah angkatan ketiga. Kami di Sloka memulainya sejak Januari tahun ini. Angkatan kedua diadakan dua bulan kemudian setelah kelas pertama, Maret.
Selain untuk terus membagi pengetahuan dan pengalaman jurnalisme, kami juga ingin makin banyak warga yang berbagi cerita. Kami yakin, tiap warga tak hanya punya cerita yang layak dibaca orang lain. Mereka juga punya kemampuan untuk menuliskannya.
Selama tiga kali kelas, kami masih mencoba-coba. Kami belum menemukan jadwal, alur, maupun metode yang tepat untuk kelas menulis ini. Tiga kali itu pula kami mencoba jadwal, pemateri, dan metode yang berbeda. Dan, menurutku, dari sisi pelaksanaan, angkatan ketiga ini lebih baik dari dua angkatan sebelumnya. Tentu saja masih dengan sejumlah catatan yang perlu diperbaiki.
Pada kelas kali ini, ada sebelas peserta. Latar belakang mereka tak seberagam dua angkatan sebelumnya. Kali ini dominan pelajar dan mahasiswa. Untung masih ada satu ibu paruh baya, Indah Juanita. Jadi, masih ada suasana berbeda.
By the way, adanya Indah Juanita ini meneruskan “tradisi” hadirnya satu peserta “ibu-ibu” di dua angkatan sebelumnya: Ivy Sudjana di angkatan pertama dan Lia Johan di angkatan kedua. Adanya “ibu-ibu”, menurutku, menjadi penengah agar kelas lebih terlihat bijaksana, tidak berangasan ala anak-anak muda. Hehehe..
Dua angkatan sebelumnya ada ibu rumah tangga, mantan guru, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), pelajar, dan mahasiswa. Kelasnya diadakan empat hari dalam dua minggu tiap akhir pekan dengan pertemuan sekitar lima jam per hari. Kali ini, kami mengadakannya dua hari penuh dari pagi hingga petang.
Kami juga mengubah suasana kelas. Kalau sebelumnya dalam kelas dengan meja kursi agak formal, maka kali ini semuanya lesehan duduk beralas tikar bambu. Ada meja kecil di tengah untuk tempat menulis. Peserta bisa menyandar senyamannya di dinding ruangan. Suasana jadi lebih nyantai.
Toh, materi dan tugasnya tetap sama. Peserta belajar dua hal utama: dasar-dasar jurnalistik dan mengelola blog.
Untuk praktik liputan, kami memilih dua tema besar sebagai rencana liputan, yaitu pertanian perkotaan dan fasilitas publik di Denpasar. Dua tema besar ini hanya sebagai acuan. Tiap peserta dipersilakan memilih tema lain selama bisa memberikan alasan.
Dan, ternyata, mereka bisa menggali cerita dan menuliskkannya dengan keren. Yudha Surya Pradipta, siswa SMA 7 Denpasar, menulis cerita tentang Nyoman Subri, ibu buta huruf pemilik warung sederhana di daerah Tonja, Denpasar Timur yang menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana. Yudha menuliskannya dengan mengalir dan lumayan detail.
Peserta lainnya, Mei Rismawati, yang baru lulus SMP dan kini bersiap masuk SMK, menulis tentang Made Sudi, perempuan pedagang canang (semacam sesajian di Bali) yang harus menghidupi keluarga karena suaminya tak bekerja. Risma, yang baru pertama kali belajar jurnalisme menulis cerita ini dalam sekitar 400 kata.
Tak hanya menulis, Risma juga dengan jelas menunjukkan empatinya pada Sudi.
“Nasib baik tidak berpihak pada Made Sudi. Ia adalah seorang pedagang canang yang aku temui di perempatan jalan Noja tadi pagi. Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan canang,” tulis Risma di paragraf pertama tulisannya.
Ada delapan cerita lain yang kurang lebih sama temanya. Mereka menulis cerita tentang warga “biasa” dengan cerita yang tak biasa. Para peserta kelas menulis warga menuliskan hal-hal sederhana di sekitar mereka: trotoar, pemulung, pedagang canang, pemilik warung, habisnya lahan pertanian.
Para warga itu menguatkan keyakinan kami. Warga tak hanya punya cerita menarik, mereka juga bisa menuliskannya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar