Total Tayangan Halaman

Minggu, Juni 17

Di bali komunikasi jadi yg utama


Di Jakarta, media dunia maya bersinergi digdaya dengan media arus utama. Di Bali masih jauh panggang dari api.
Banyak contohnya. Dua di antaranya yang terbukti ampuh adalah ketika media arus utama memberitakan penahanan Prita Mulyasari. Prita adalah konsumen yang dipenjara gara-gara emailnya tentang keluhan terhadap pelayanan rumah sakit bocor ke ranah publik. Prita dipenjara dengan tuduhan pencemaran nama baik. Dia pun ditahan.
Setahuku, penahanan Prita isu ini sudah pernah ditulis oleh para pegiat dunia maya namun kemudian tenggelam lagi. Kasus Prita mencuat lagi ketika media arus utama memberitakan penahanan Prita. Secara masif, berita-berita itu terus diproduksi oleh media arus utama, termasuk media-media besar, seperti Tempo, Kompas, Metro TV, TV One, maupun media-media lain.
Di sisi lain, para pegiatan dunia maya juga aktif membangun solidaritas untuk Prita melalui group, banner, blog, dan seterusnya. Kasus Prita kemudian membangunkan kesadaran warga di dunia maya ataupun dunia nyata bahwa ada hak warga yang telah dirampas oleh Negara ataupun mereka yang punya kuasa.
Pada kasus Cicak Lawan Buaya pun demikian. Grup di Facebook yang mendukung anggota Komisi Pemberantasan Korupsi Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto menjadi salah satu bukti bagaimana suara-suara di dunia maya itu menjelma menjadi kekuatan baru untuk menekan.
Media arus utama bersama jejaring sosial di dunia memberikan kekuatan luar biasa.
Tapi, itu di Jakarta. Di Bali belum. Belum banyak, atau bahkan belum ada, bukti suara-suara di dunia maya bisa ikut memberi warna pemberitaan media arus utama di Bali. Blog, Twitter, Facebook, seperti hidup di dunianya sendiri. Terpisah dengan pemberitaan media arus utama seperti Bali Post, Radar Bali, NusaBali, Bali TV, Dewata TV, dan media-media lain di sini.
Menurutku ada beberapa penyebab. Pertama, pengguna jejaring sosial di Bali lebih suka berbagi tentang dirinya dibanding lingkungannya. Tulisan di blog, update status di Facebook, atau kicauan di Twitter dari Bali lebih banyak berbicara tentang penggunanya. Misalnya, dia lagi di mana, ngapain, dan semacamnya.
Sebagian blogger Bali memang menulis isu-isu lain secara reguler. Misalnya, Pande Baik yang rajin berbagi tentang gadget maupun jejaring sosial. Atau dr Made Wirawan yang menulis isu kesehatan dan internet. Tapi, isu-isu tersebut jarang terkait langsung dengan tema-tema aktual di Bali.
Aku sendiri tak jauh beda. Jarang menulis tentang tema-tema aktual di Bali. Kalau toh nulis di blog ini memang lebih bersifat personal. Kalau di Bale Bengong lebih sering menulis isu-isu “remeh temeh” yang memang tak seksi sama sekali untuk media arus utama.
Sebenarnya, akan menarik kalau ada blog yang rajin menulis dengan analisis terkait isu-isu aktual di Bali. Tapi, ini bukan pekerjaan mudah. Selain butuh waktu juga butuh pengetahuan cukup untuk memberikan tulisan dengan perspektif berbeda dibanding media arus utama. Aku sendiri menyerah. Belum bisa melakukannya.
Penyebab kedua, masih gagapnya media arus utama dengan jejaring sosial. Media-media di Bali masih gagap atau bahkan belum menggunakan jejaring sosial untuk mendukung kerja mereka. Bali Post, harian tertua dan terbesar di Bali, misalnya, belum serius mengelola page di Facebook. Di websitenya, Bali Post belum membuat integrasi dengan Facebook.
Begitu pula dengan Twitter. Media arus utama di Bali hanya Bali Post dan Bali TV yang punya akun microblogging ini. Itu pun belum serius digarap. Itu masih mending dibanding Radar Bali, NusaBali, atau Dewata TV. Mereka belum punya akun Twitter, setidaknya hingga tulisan ini aku buat.
Padahal, kalau punya akun di Twitter, mereka tak hanya bisa terus menerus berbagi informasi tapi juga mendapat respon atau informasi dari followernya.
Penyebab ketiga, belum adanya aktivis dunia maya terkemuka di Bali atau sebaliknya, tokoh penting di Bali yang rajin berjejaring sosial. Ini sangat bisa diperdebatkan tapi, menurutku, lumayan penting. Di Jakarta, banyak pengguna jejaring sosial yang punya nama ini dan jadi referensi media arus utama. Untuk blog, misalnya, Budi Putra, Enda Nasution, Ndorokakung, atau Pandji bisa jadi acuan.
Mereka-mereka ini tak hanya punya nama tapi juga jadi acuan oleh media arus utama untuk melihat isu aktual melalui blog atau twitternya. Begitu pula di Twitter. Sherina Munaf, Fahira Idris, Budiman Sudjatmiko, dan seterusnya adalah pengguna Twitter yang kicauan mereka pun bisa jadi acuan.
Di Bali, menurutku, seharusnya Jerink Superman is Dead dengan hampir 50.000 follower bisa membentuk opini Tweeps tentang isu aktual di Bali. Tapi, Jerinx sepertinya lebih sering menggunakan Twitter untuk menjawab sapaan atau pertanyaan penggemarnya dibanding membahas isu-isu aktual di Bali.
Bali perlu orang-orang yang sudah punya “nama” sekaligus kemauan dan wawasan untuk berbagi lewat Twitter. Aku bayangkan, misalnya Ngurah Harta atau Wayan Juniartha yang sudah punya “nama” itu rela ngetwit atau berbagi opini lewat blog. Aku yakin cerita mereka akan jadi salah satu acuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar